Surat Cinta Untuk Sahabat-Sahabat GMIT-ku

SOS: 'Selamatkan Jiwa dan Spirit Kekristenan' kita melalui puji-pujian (Label: Surat Cinta).

Memainkan Lagu-Lagu dalam Edisi Akord

Pemain musik gereja dituntut untuk terus berlatih dan berlatih (Label: Panduan Musik).

Kumpulan Arransemen Lagu untuk Koor Musik

Kumpulan Arransemen Lagu untuk Koor Musik oleh Pietro T. M. Netti.

Praktek Puji-Pujian Jemaat: Antara Adat dan Tradisi

Praktek Puji-Pujian Jemaat: Antara Adat dan Tradisi (Label: Pujian Jemaat).

Spirit Musik Pengiring dan Puji-Pujian Jemaat

Spirit Musik Pengiring dan Puji-Pujian Jemaat (Label: Musik Pengiring).

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Thursday, January 30, 2014

Menyorot Praktek Puji-Pujian Gerejawi (5)


CATATAN AKHIR
           
            Dari uraian dan penjelasan pada tulisan-tulisan terdahulu, sekiranya semua pihak (gereja/jemaat) mau menyadari kekurangan dan/atau kelemahan kita dalam hal cara/praktek bernyanyi dan/atau melakukan puji-pujian gerejawi, baik lagu/puji-pujian liturgi/jemaat maupun lagu/puji-pujian rohani di dalam mengisi liturgi kebaktian kita.

Menyorot Praktek Puji-Pujian Gerejawi (4)


“KO HANYA PUJI TUHAN SA JU…!”
(Tulisan sebelumnya: KEMBALI KE TEKS ASLI)
           
            Sebagaimana yang telah disebutkan pada tulisan-tulisan terdahulu tentang ‘tradisi’ bernyanyi yang telah menjadi ‘warisan’ gereja/jemaat, ‘tradisi’ tersebut juga telah membentuk pola pikir gereja/jemaat GMIT secara permanen tentang makna dan hakekat puji-pujian. Sebuah pola pikir, yang menurut hemat saya, sangat bertolak belakang dengan Kristen dan/atau Kekristenan.

Menyorot Praktek Puji-Pujian Gerejawi (3)


KEMBALI KE TEKS ASLI
(Tulisan sebelumnya: LAGU GAMPANG & LAMA)
           
Di dalam GMIT, cara/praktek bernyanyi atau melakukan puji-pujian yang baik, benar dan bertanggung jawab seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini perlu dan harus menjadi fokus perhatian semua pihak (gereja/jemaat) karena sesungguhnya cara/praktek yang dilakukan selama ini masih sangatlah jauh dari harapan kita semua: ‘bernyanyi asal bernyanyi’ tanpa mau memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan prinsip/aturan dasar, etika dan estetika berkesenian. Padahal, ‘bernyanyi’ sebagai salah satu bagian seni di dalam sejarah kehidupan umat manusia (dan seni/kesenian yang lain) memiliki prinsip dan aturan tertentu yang harus ditaati demi mempertahankan ciri khas dan hakekatnya.

Wednesday, January 29, 2014

Menyorot Praktek Puji-Pujian Gerejawi (2)


LAGU GAMPANG & LAMA
(Tulisan sebelumnya: CATATAN AWAL)
           
            Lagu/puji-pujian liturgi/jemaat yang dipakai di dalam setiap liturgi kebaktian adalah lagu/puji-pujian yang sudah dipakai sejak sekian lama yang terambil dari beberapa buku himpunan pujian seperti Tahlil, Nyanyian Rohani, Kidung Jemaat dan lain sebagainya yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi gereja/jemaat GMIT pada umumnya. Lagu/puji-pujian tersebut sering dan/atau selalu dinyanyikan pada setiap kesempatan kebaktian kita sesuai dengan liturgi yang telah ditetapkan: Liturgi Kebaktian Utama (Model 1 dan Model 2), dan Liturgi Kebaktian Khusus lainnya (Paskah, Kenaikan, Pentakosta, Bulan Keluarga, Adven, Natal, dll). Karenanya, maka lagu/puji-pujian tersebut sudah dianggap ‘enteng’ dan ‘gampang’ oleh banyak kalangan warga gereja/jemaat itu sendiri. Lagu/puji-pujian tersebut sudah menjadi lagu/puji-pujian ‘lama’ yang biasa (selalu) dipergunakan oleh gereja (GMIT) dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi.

Tuesday, January 28, 2014

Menyorot Praktek Puji-Pujian Gerejawi (1)


CATATAN AWAL
           
Aktifitas puji-pujian gerejawi di dalam setiap proses peribadatan merupakan sebuah bentuk respon/tanggapan jemaat/peserta kebaktian yang sekaligus juga merupakan sebuah ungkapan iman akan kebesaran dan kemuliaan ALLAH, kasih karunia, dan penyertaan ALLAH di dalam kehidupan beriman kita. Sebagaimana puji-pujian jemaat/liturgi, pemilihan dan penetapan nyanyian/lagu untuk dinyanyikan di dalam sebuah liturgi kebaktian pun disarankan atau harus mencerminkan nilai-nilai spiritualitas iman Kristiani yang menjunjung tinggi ALLAH Tri Tunggal sebagai pusat puji-pujian dan penyembahan, merefleksikan pergumulan rohani jemaat dan/atau gereja, serta memotivasi pertumbuhan dan perkembangannya.

Sunday, January 26, 2014

SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan…! (6)


(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)

Catatan Akhir: Persiapan (Belajar & Latihan)

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Demi memuluskan niat/jalan pembaharuan ini, ada proses penting yang perlu diperhatikan oleh kita semua sebagaimana yang saya terapkan yakni melakukan latihan dan/atau persiapan. Ya, melakukan latihan dan/atau persiapan bersama antara pemandu pujian dengan pemain musik gereja, dan antara pemandu pujian, pemain musik gereja dengan jemaat/peserta kebaktian.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Pertama: Latihan/persiapan secara teratur antara pemandu pujian dan pemain musik adalah ‘wajib’ hukumnya demi menemukan ‘titik temu’ bernyanyi (menyanyikan puji-pujian) dan bermain musik (mengiringi puji-pujian) guna dapat menciptakan kekompakan dan keharmonisan di antara keduanya.

Di samping itu, latihan/persiapan yang dilakukan oleh pemandu pujian (dan pemain musik) juga sebagai sebuah proses belajar dan belajar dalam hal membekali dan mempersiapkan diri dengan materi-materi lagu yang akan dinyanyikan (dan/atau dimainkan). Pemandu pujian sebagai ‘ujung tombak’ puji-pujian haruslah menyadari dan memahami fungsi dan perannya yang sangat besar; 1) menjadi pusat panduan: memimpin dan memegang kendali ‘lalu lintas’ puji-pujian liturgi/jemaat, serta 2) menjadi contoh pembelajaran puji-pujian liturgi/jemaat bagi peserta kebaktian.  

Kedua: Latihan/persiapan bersama antara pemandu pujian, pemain musik dengan jemaat/peserta kebaktian. Latihan/persiapan ini dilakukan sesaat sebelum kebaktian dimulai sebagai sebuah proses pembelajaran kepada jemaat/peserta kebaktian yang dalam realita belum menguasai puji-pujian liturgi/jemaat dengan baik dan benar. Latihan/persiapan bersama tersebut, bila perlu, disertai dengan penjelasan singkat yang berhubungan dengan lagu/puji-pujian yang akan dinyanyikan yang sekiranya memiliki ‘keunikan’ tertentu dalam hal tingkat kesulitan notasi, birama, ketukan, tempo, maupun simbol-simbol notasi lain yang cenderung disalahartikan.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Akhirnya, sekali lagi saya ingin mengajak kita semua agar mau meninggalkan ‘tradisi lama’ (cara bernyanyi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya), dan mau merintis dan mengawal reformasi dalam hal melakukan puji-pujian dengan mulai melakukan cara/praktek bernyanyi yang baik, benar dan bertanggung jawab. Kita harus bangkit dan terus berjuang demi masa depan puji-pujian kita yang lebih baik, sekaligus menyelamatkan “jiwa/spirit kekristenan” kita. Semoga TUHAN menolong kita! SYALOM! (Habis)

Saturday, January 25, 2014

SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan…! (5)


(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)

Bentuk-Bentuk Resistensi

Ada berbagai bentuk resistensi yang ditunjukkan, antara lain: adanya keluhan-keluhan yang dilontarkan baik secara terang-terangan maupun ‘gelap-gelapan’ (baca: sembunyi-sembunyi, pen) terutama tentang tempo (cepat-lambat) nyanyian yang cepat yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam bernyanyi khususnya dalam hal pengambilan napas, sehingga muncul kritik yang mempersoalkan perbedaan napas antara orang tua dan orang muda (baca: anak-anak); dan adanya reaksi bernyanyi yang seolah-olah ingin ‘melawan arus’ bernyanyi dari pemandu pujian.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Memang perubahan yang kami lakukan pertama-tama dititikberatkan pada penerapan tempo bernyanyi sesuai petunjuk/simbol notasi yang berhubungan dengan birama dan tempo. Penerapan tempo menjadi fokus utama karena sejauh ini yang sangat menonjol dan yang paling memberi citra negatif bagi kita (warga GMIT) dalam bernyanyi adalah ‘hela-tarek’ dan ‘mati-angin’.

Sebenarnya penerapan tempo bernyanyi masih dalam batas wajar dengan tetap mempertimbangkan faktor kenyamanan di saat bernyanyi dan bermain musik, dan menghindari kesan tergesa-gesa. Benar, bahwa tempo lagu yang dinyanyikan/dimainkan terkesan lebih cepat dari biasanya, namun sekali lagi tetap memperhatikan petunjuk/simbol notasi yang ada. Hal ini tentu sangat mengusik kenyamanan bernyanyi dari kalangan-kalangan yang ingin tetap mempertahankan ‘status quo’ (tradisi ‘hela-tarek’ dan ‘mati-angin’), atau mungkin menghambat pemuasan selera/naluri liar mereka yang ingin bernyanyi sesuka hati mereka.

Begitu pula dengan proses pengambilan napas yang dirasakan sulit, atau seolah-olah tidak ada kesempatan bernapas pada saat bernyanyi dikarenakan tempo lagu yang terlalu cepat?! Kritik ini pernah dilontarkan oleh seorang pendeta yang mempersoalkan perbedaan napas orang muda/anak-anak dan orang tua.

Dalam sebuah kebaktian, peserta kebaktian yang rata-rata didominasi oleh kaum tua (jemaat, majelis, dan termasuk pendeta) tidak bisa menyesuaikan cara bernyanyi dengan para pemandu yang adalah kelompok PAR karena faktor napas?! Sehingga disarankan agar di lain kesempatan pemandu pujian yang harus menyesuaikan dengan orang tua.

Muncul pertanyaan: “Sudah benarkah atau baikkah ‘kaum/orang tua’ bernyanyi sesuai dengan tuntutan dari sebuah lagu sehingga patut untuk dicontohi/diikuti/disesuaikan?” Sejauh mata memandang, belum! Sekali lagi, belum!

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Di samping itu, ada pula bentuk penolakan dalam reaksi bernyanyi yang seharusnya tidak terjadi. Reaksi tersebut merupakan sebuah aksi balasan yang dipertontonkan oleh sebagian peserta kebaktian pada saat bernyanyi yang terkesan hendak ‘melawan arus’ atau tidak mau mengikuti panduan dari pemandu pujian. Sahabat-sahabat GMIT-ku tentu bisa membayangkan sebuah suasana kebaktian yang betul-betul sangat ‘kacau balau’. Apalagi reaksi ‘melawan arus’ tersebut datang dari ‘corong’ di atas ‘Mimbar Besar’.

Ternyata masih ada oknum-oknum yang belum menyadari dan bahkan tidak menghargai keberadaan pemandu pujian dengan fungsi dan perannya. Atau mungkin karena pemandunya adalah kelompok anak PAR, sehingga kemampuan mereka diragukan?! Atau mungkin karena masih ‘anak-anak’, jadi tidak perlu dihiraukan?!

Jangan salah..! Anak-anak ini telah melalui sebuah proses latihan dan/atau persiapan yang serius sebelum datang kepada tugas memimpin pujian di dalam kebaktian utama. Sehingga sangat disesali, usaha dan kerja keras pemandu pujian (plus pemain musik) dalam proses latihan dan/atau persiapan yang telah menguras energi, pikiran dan waktu mereka, seketika itu ‘hancur berantakan’ oleh ulah oknum-oknum yang minim apresiasinya.

Sudah saatnya semua pihak mau menyadari dan menghargai fungsi dan peran dari pemandu pujian. Pemandu pujian sebaiknya dijadikan sebagai satu-satunya pusat panduan dan sekaligus menjadi contoh pembelajaran puji-pujian liturgi dan/atau puji-pujian jemaat di dalam sebuah kebaktian.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Walaupun demikian, tidak sedikit pula yang menyambut baik perubahan yang kami tawarkan dan yang sudah kami lakukan. Usaha dan kerja keras tersebut berdampak pada antusiasme kami sendiri (pemandu pujian dan pemain musik) dan terutama sebagian besar kalangan warga gereja/jemaat dalam melakukan puji-pujian liturgi/jemaat.

Pemandu pujian (Kelompok PAR, pen) yang masih awam dengan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat ternyata sangat terkesan, menikmati dan mengakui keindahan lagu-lagu tersebut. Hal yang sama juga dialami dan dirasakan oleh anggota jemaat lainnya. Mereka tidak menyangka kalau lagu/kidung pujian yang dipakai selama ini di dalam kebaktian di gereja-gereja (GMIT) ternyata indah dan bagus, serta ada nuansa baru yang memotivasi kesungguhan dan kehikmatan beribadat. AMIN! (Bersambung)

Friday, January 24, 2014

SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan…! (4)


(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)

Siap Menghadapi Resistensi

            Sahabat-sahabat GMIT-ku! Sebagaimana yang telah saya utarakan pada tulisan sebelumnya, sekali lagi, mari kita sama-sama mulai mereformasi cara/praktek puji-pujian kita dari tempat di mana kita berada! Memang tidak mudah untuk melakukan suatu pembaharuan/perubahan secara drastis, yang mana kita harus merubah sebuah ‘tradisi’ yang telah ‘mendarah daging’ di setiap generasi dari masa ke masa.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita pasti akan berhadapan dengan warga jemaat/gereja dan bahkan pemimpin umat kita yang menunjukkan sikap resistensi/penolakan terhadap pembaharuan yang kita buat.

Namun kita tidak boleh menyerah demi sebuah perbaikan yang lebih baik ke depan. Kita harus memulainya dari sekarang secara berangsur-angsur dan/atau bertahap. Apalagi, aksi pembaharuan ini adalah sebuah aksi yang mulia demi menyelamatkan ‘jiwa/spirit kekristenan’ kita di masa-masa yang akan datang.

            Sahabat-sahabat GMIT-ku! Ada sebuah kisah yang saya ingin ceritakan tentang upaya pembaharuan terhadap cara/praktek menyanyikan puji-pujian liturgi dan puji-pujian jemaat yang tengah diperjuangkan.  

Dimulai dari sebuah Pos Pelayanan (Pospel) yang baru, kami (saya dan beberapa anggota Majelis Jemaat setempat) sepakat dan bertekad untuk mengupayakan sebuah pembaharuan dalam cara/praktek bernyanyi yang baik dan benar sesuai dengan tuntutan dari sebuah lagu. Melalui sebuah pengamatan dan latihan yang cukup lama bersama beberapa warga jemaat/gereja setempat yang memiliki kerinduan memimpin/memandu puji-pujian liturgi/jemaat, akhirnya saya memilih sekelompok anak PAR yang terdiri dari 4 (empat) orang untuk menjadi Pemimpin atau Pemandu Pujian.

Penetapan keempat anak PAR menjadi Pemandu Pujian mendapat tanggapan beragam. Ada tanggapan positif yang patut diapresiasi, dan ada tanggapan negatif yang cenderung memojokkan dan menganggap remeh kemampuan kelompok anak PAR tersebut. Ada begitu banyak saran dan kritik yang tidak membangun yang ditujukan kepada anak-anak ini yang justru adalah ‘tunas-tunas’ gereja yang pasti akan bertumbuh menjadi ‘tulang punggung’ gereja pada suatu kelak nanti.

Sebenarnya kritik, saran, dan bahkan protes tersebut intinya adalah menolak perubahan yang kami coba rintis. Biar pun demikian, kami tetap pada tekad untuk memperjuangkan suatu perubahan yang lebih baik, walaupun sikap resistensi yang ditunjukkan oleh berbagai kalangan tetap ada.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Sikap resistensi/penolakan yang kami terima/rasakan bukan hanya dari kalangan warga jemaat/gereja, melainkan juga dari sebagian anggota majelis jemaat dan bahkan dari beberapa pendeta sendiri. (Bersambung)

Thursday, January 23, 2014

SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan…! (3)


(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)

“Back To Basic”

            Shabat-sahabat GMIT-ku! Kita sebagai warga gereja generasi penerus GMIT perlu memahami bahwa puji-pujian adalah salah satu hal penting dalam peribadatan kita. Sebagaimana persekutuan (baca: gereja) Kristen mula-mula adalah persekutuan yang berdoa dan persekutuan yang bernyanyi. Bagaimana mungkin kita sebagai penerus tidak peduli dengan puji-pujian (baca: bernyanyi)?
           
            Saatnya sekarang kita harus termotivasi untuk mulai menata dan membenahi semua kekurangan kita yang mungkin dapat dikatakan berada pada tahapan kronis.

Mungkin ada yang bertanya: “Bagaimana caranya?”

Saya menjawab: “Caranya sangat mudah dan simpel!”

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Dalam mereformasi cara/praktek puji-pujian kita, kita tidak perlu muluk-muluk mencari metode pembelajaran yang sekiranya membingungkan kita sendiri. Saya tertarik untuk menggunakan istilah “back to basic”. Ya, sebuah istilah yang mengajak kita untuk “kembali ke asal/hakekat asal”.

Dalam hubungannya dengan melakukan puji-pujian, saya mengajak kita semua untuk kembali ke teks/notasi lagu asli yang merupakan asal-muasal dari setiap lagu/puji-pujian. Kita perlu kembali melihat dan mempelajari setiap lagu/puji-pujian (yang mungkin mudah/gampang menurut kita) sesuai dan/atau berdasarkan simbol/petunjuk notasi untuk bisa mengikuti ‘tuntutan’ dari lagu/puji-pujian tersebut. Setiap lagu/puji-pujian harus dilihat dan dipelajari kembali seolah-olah kita belum mengetahui lagu/pujian tersebut (mulai dari nol, pen). Pertanyaan seperti, “Sudah benarkah atau baikkah kita menyanyikan lagu ini sesuai teks?” harus selalu ada setiap kali kita mulai dan/atau selesai mempelajari sebuah lagu.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Dalam bernyanyi, kita perlu mengikuti dan menaati ‘apa kata teks/notasi’, bukan mengikuti ‘apa kata hati/selera/naluri’ kita, sehingga ‘jiwa dan spirit’ lagu/puji-pujian tetap ada dan terjaga.

Perlu kita ketahui bersama bahwa sudah sekian lama kita ‘tersesat’ dalam hal cara/praktek bernyanyi atau melakukan puji-pujian yang tidak benar. Kita cenderung bernyanyi sesuai selera/naluri ‘liar’ kita tanpa menghiraukan petunjuk/simbol notasi yang tertera di dalam sebuah teks lagu, yang sebenarnya adalah ‘jiwa/spirit’ dari lagu tersebut yang juga sekaligus mencerminkan ‘jiwa/spirit kekristenan’ kita.

Sudah saatnya kita harus mematikan selera/naluri ‘liar’ kita untuk tidak lagi ‘membunuh’ jiwa/spirit kekristenan kita di dalam setiap lagu/puji-pujian kita. Dengan demikian, dengan sendirinya kita turut menjaga dan memelihara kualitas lagu/pujian yang nota bene tercipta bukan karena semata-mata hasil karya manusia, melainkan juga berkat campur tangan TUHAN. (Bersambung)

Wednesday, January 22, 2014

SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan…! (2)


(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)

Citra Negatif Di Pundak GMIT

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Jika kita peka, maka kita pun pasti merasakan kondisi puji-pujian kita yang sungguh memprihatinkan dari masa ke masa. Keprihatinan tersebut muncul akibat dari cara/praktek bernyanyi atau membawakan puji-pujian liturgi maupun puji-pujian jemaat lainnya yang dilakukan dari generasi ke generasi sangatlah jauh dari apa disebut sebagai bernyanyi yang baik dan benar. Sebuah cara/praktek yang sama sekali mengabaikan unsur-unsur etika dan estetika berkesenian.

Dan itu terjadi hanya pada sebagian denominasi gereja non karismatik (salah satunya adalah GMIT, pen) yang tetap menggunakan puji-pujian liturgi/jemaat yang terambil dari buku himpunan lagu/pujian seperti TAHLIL, NYANYIAN ROHANI, KIDUNG JEMAAT, MAZMUR, dan lain-lain.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Dari kenyataan ini, ada banyak sekali saudara-saudara kita, yang mungkin terpaksa atau dengan kesadaran sendiri, beralih dari GMIT dan bergabung dengan gereja-gereja dari denominasi lain yang lebih fokus pada puji-pujian dan penyembahan.

Di sana (denominasi lain, pen), katanya, terdapat puji-pujian yang memiliki spirit/semangat untuk memuji dan memuliakan ALLAH, dan, katanya lagi, ROH KUDUS hadir dan bekerja di sana. Sudah begitu, GMIT pun dicitrakan negatif oleh berbagai kalangan di luar GMIT yang sudah tentu sangat mengganggu.

Katanya, dalam melakukan puji-pujian, GMIT (warga gereja dan/atau gereja, pen) identik dengan: ‘hela-tarek’ (bernyanyi dengan tempo amat-sangat-terlalu lambat), ‘mati-angin’ (bernyanyi dengan loyo dan tidak bersemangat), ‘jato-mat’ (bernyanyi dengan tidak memperhatikan ketukan), dan ‘mati-gaya’ (bernyanyi dengan asal-asalan tanpa penghayatan dan ekspresi), dan bahkan lebih dari itu, mereka mengklaim bahwa ROH KUDUS tidak hadir dalam kebaktian-kebaktian yang dilakukan di dalam gereja-gereja GMIT.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Tentang beralihnya saudara-saudara kita ke denominasi lain, oleh banyak kalangan GMIT, bukan disebabkan semata-mata oleh kondisi puji-pujian kita yang berbeda dengan denominasi lain, tetapi ada faktor-faktor lain yang turut memberi andil.

Memang benar, bukan hanya karena faktor puji-pujian kita yang terpuruk, tapi menurut hemat saya, hal ini juga mengindikasikan bahwa faktor puji-pujian juga termasuk salah satu yang memberi andil pembelotan. Ada begitu banyak ‘kesaksian’ (baca: pernyataan) dari mereka yang pindah yang mengeluhkan cara/praktek puji-pujian di dalam GMIT.

Sedangkan mengenai citra-citra negatif yang dilekatkan pada diri GMIT, ada kesan warga GMIT sama sekali tidak merasa terusik atau masa bodoh (baca: anjing menggonggong kafila terus berlalu)? Atau gaung pencitraan negatif tersebut belum sampai ke ‘telinga pejabat/rakyat’ GMIT? Atau GMIT merasa bahwa apa dilakukan berhubungan dengan puji-pujian sudah baik dan benar adanya?

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Sudah saatnya sekarang kita (warga GMIT, pen) perlu merasa terusik dengan berpindahnya saudara-saudara kita ke denominasi lain hanya ‘gara-gara’ ketidak-puasan terhadap kondisi puji-pujian kita. Sudah saatnya sekarang kita perlu merasa terusik dengan pencitraan-pencitraan negatif yang mencoreng wajah kita. Dan sudah saatnya sekarang kita pula perlu merasa terusik dengan cara/praktek puji-pujian yang kita lakukan selama ini yang memang tidak memenuhi syarat-syarat berkesenian. Ya, kita perlu merasa terusik!

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Yang saya maksudkan dengan ungkapan kita perlu merasa terusik di sini bukan sebuah ajakan provokatif agar kita berbuat hal-hal yang akhirnya mencoreng dan merusak nama baik kita (warga GMIT) sendiri. Ungkapan ini harus disikapi secara baik dan bertanggung jawab sebagai sebuah ajakan positif yang dapat membuka wawasan kita semua untuk berubah. Berubah menuju arah yang lebih baik tentunya. Diharapkan, ungkapan ini dapat memotivasi kita semua untuk mulai bercermin dan menata diri, serta membenahi segala kekurangan yang ada di dalam cara/praktek puji-pujian kita mulai dari sekarang. (Bersambung)

Tuesday, January 21, 2014

SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan...! (1)

(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)

Mereformasi Puji-Pujian Dalam Praktek

            SYALOM! Surat ini saya sampaikan kepada semua sahabat GMIT-ku di mana saja berada, yang bersimpati memperjuangkan cara/praktek puji-pujian liturgi dan/atau puji-pujian jemaat yang baik, benar dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip dan aturan dasar bernyanyi.

Cara/praktek puji-pujian dimaksud adalah bernyanyi dengan mengikuti ‘apa yang dikehendaki’ (baca: tuntutan) dari sebuah lagu, bukan mengikuti kehendak kita yang menyanyikannya. ‘Apa yang dikehendaki’ dari sebuah puji-pujian, mau tidak mau, harus diikuti oleh kita semua demi dapat menjaga ‘jiwa/spirit’ puji-pujian tersebut.

Untuk mengikuti tuntutan lagu, dalam prakteknya, kita perlu memperhatikan seluruh simbol/petunjuk notasi yang tertera di dalamnya, dan menyanyikannya dengan baik dan benar. Surat ini pun perlu dimaknai sebagai sebuah “SOS” (pesan darurat “Save Our Soul, pen) bagi kita semua untuk menyelamatkan puji-pujian kita yang sudah dan sedang berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. 

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Pada kesempatan ini, saya sangat berharap dan meminta dukungan kita semua untuk mulai melakukan ‘action’; mereformasi kondisi puji-pujian kita (baca: cara/praktek bernyanyi) mulai dari tempat kita masing-masing yakni tempat dimana kita hadir dan berkarya.

Saya memohon kepada sahabat-sahabatku yang mungkin dianugerahi talenta khusus dari ALLAH di bidang seni musik dan suara, dan/atau bagi sahabat-sahabat yang oleh karena latar belakang pendidikan memiliki pemahaman, pengetahuan dan kompetensi yang lebih di bidang seni musik dan suara untuk mau membantu, memberi masukan (saran dan kritik yang konstruktif) untuk membenahi kondisi puji-pujian kita.

Adalah satu kebanggaan bila kita semua dapat berbuat sesuatu yang baik dan bermanfaat demi memuji dan memuliakan TUHAN kita. Bukankah dengan demikian kita sedang melipat gandakan talenta yang diberikan TUHAN kepada kita untuk kemudian dipertanggungjawabkan kembali di hadapan hadirat-NYA?

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Kita tentu bisa melihat dan menyaksikan sendiri realita dari praktek puji-pujian kita yang, kalau kita mau jujur, masih sangat jauh dari harapan kita bersama. Puji-pujian liturgi/jemaat yang indah, yang menyentuh hati, yang bersemangat, dan lain-lain yang mengekspresikan pergumulan rohani gereja dan nilai-nilai spiritualitas iman Kristiani masih sangat jauh dari hakekatnya yang sebenarnya.

Mimpi tinggal mimpi adalah sebuah ungkapan yang mungkin tepat untuk merefleksikan harapan, keinginan, cita-cita dan impian kita semua untuk melakukan puji-pujian yang baik dan benar yang tidak menyalahi prinsip/aturan dasar, etika dan estetika berkesenian.

Mudah-mudahan kita semua mempunyai pandangan yang sama akan realita yang ada, dan bertekad untuk membenahi praktek puji-pujian kita menjadi lebih baik ke depan. Kita semua harus bangkit, bergandengan tangan untuk mereformasi cara/praktek bernyanyi yang salah yang sudah berlangsung sekian lama.

Adalah kewajiban kita semua untuk membuat mimpi itu menjadi kenyataan. Saya percaya dengan tetap memohon penyertaan TUHAN di dalam setiap langkah dan usaha kita, kita pasti sanggup merealisasikannya. (Bersambung)

Saturday, January 18, 2014

Di Tengah Ombak & Arus Pencobaan

   Lagu: "DI TENGAH OMBAK & ARUS PENCOBAAN adalah lagu kesayangan dari saudari Nn. Cavik. Marla Rosita Tanehe, S.Th. yang telah menjalani masa magang sebagai Calon Vikaris selama kurang lebih 2 tahun (2011-2013) di Jemaat Gunung Sinai Naikolan. 

    Lagu ini diarransemen pada April 26, 2013 dan didedikasikan kepada: Nn. Cavik. Marla Rosita Tanehe, S.Th. sebagai sebuah persembahan khusus dari Koor Musik JGSN mewakili seluruh Majelis & Jemaat Gunung Sinai Naikolan yang dinyanyikan pada saat Kebaktian Utama Minggu, 28 April 2013 dalam rangka perpisahan dengannya.
Korsik GSN HUT GMIT/Reformasi 31 Oktober 2011
    "Selamat menjalani tugas dan pelayanan di tempat yang baru! Semoga Tuhan selalu memberkati!"
Di Tengah Ombak & Arus Pencobaan by peternetti

Friday, January 17, 2014

Liturgi Model I & II Edisi Akord

Gereja Masehi Injili di Timor-Jemaat Gunung Sinai Naikolan
LITURGI KEBAKTIAN UTAMA MINGGU MODEL I & II
Edisi Akord
Edisi Khusus JGSN

Kata Pengantar

Buku LITURGI KEBAKTIAN UTAMA MINGGU MODEL I dan MODEL II EDISI AKORD ini disusun dalam rangka membantu dan mempermudah para Pemain Musik Gereja (Pianis, Organis, atau Gitaris) memainkan lagu-lagu (Nyanyian/Pujian Jemaat) yang ada di dalam Liturgi Kebaktian Utama Minggu Model I & Model II.

Liturgi Model I & II Edisi 4 Suara


Gereja Masehi Injili di Timor-Jemaat Gunung Sinai Naikolan
LITURGI KEBAKTIAN UTAMA MINGGU MODEL I & II
Edisi 4 Suara
Edisi Khusus JGSN


Kata Pengantar

            Buku LITURGI KEBAKTIAN UTAMA MINGGU MODEL I & II EDISI 4 (empat) SUARA ini disusun dalam rangka membantu serta mempermudah Kantoria (Kelompok Penyanyi/Biduan) dan/atau Paduan Suara Gereja yang hendak melakukan fungsi sebagai pemandu lagu-lagu liturgi pada setiap Kebaktian Utama Minggu di gereja-gereja dalam lingkup Gereja-Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).

Liturgi Model I & II Edisi Khusus JGSN


Gereja Masehi Injili di Timor-Jemaat Gunung Sinai Naikolan

LITURGI KEBAKTIAN UTAMA MINGGU MODEL I & II

Edisi Khusus JGSN


Kata Pengantar 

    Buku Panduan LITURGI KEBAKTIAN UTAMA MINGGU MODEL I dan MODEL II disusun sebagai sebuah panduan bagi jemaat atau peserta kebaktian dalam mengikuti setiap tahapan dalam sebuah kebaktian dari awal hingga selesai. Setiap gereja dalam Wilayah Pelayanan Sinode GMIT (Gereja-Gereja Masehi Injili di Timor) sudah pasti memiliki Buku Panduan Liturgi Kebaktian yang seragam/sama baik dalam isi maupun dalam setiap tahapannya.

Wednesday, January 15, 2014

Liturgi KUM (Dari Perpustakaan Gereja):

“BERBEDA-BEDA (DAN) TIDAK SAMA”

            
        Pada setiap Kebaktian Utama Minggu (KUM) kecuali pada Kebaktian Hari-Hari Raya Gerejawi, gereja-gereja yang tergabung di dalam Wilayah Pelayanan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) selalu menggunakan Tata Ibadah/Liturgi Kebaktian Utama yang sama yakni Tata Ibadah/Liturgi Model I dan Model II. Kedua Model Liturgi ini digunakan secara bergantian pada setiap minggunya.