(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)
Ada berbagai
bentuk resistensi yang ditunjukkan, antara lain: adanya keluhan-keluhan yang dilontarkan
baik secara terang-terangan maupun ‘gelap-gelapan’
(baca: sembunyi-sembunyi, pen) terutama tentang tempo (cepat-lambat) nyanyian yang cepat yang menyebabkan
ketidaknyamanan dalam bernyanyi khususnya dalam hal pengambilan napas, sehingga
muncul kritik yang mempersoalkan perbedaan napas antara orang tua dan orang
muda (baca: anak-anak); dan adanya reaksi bernyanyi yang seolah-olah ingin ‘melawan arus’ bernyanyi dari pemandu
pujian.
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Memang
perubahan yang kami lakukan pertama-tama dititikberatkan pada penerapan tempo bernyanyi sesuai petunjuk/simbol
notasi yang berhubungan dengan birama
dan tempo. Penerapan tempo menjadi fokus utama karena sejauh
ini yang sangat menonjol dan yang paling memberi citra negatif bagi kita (warga GMIT) dalam bernyanyi adalah ‘hela-tarek’ dan ‘mati-angin’.
Sebenarnya
penerapan tempo bernyanyi masih dalam
batas wajar dengan tetap mempertimbangkan faktor kenyamanan di saat bernyanyi
dan bermain musik, dan menghindari kesan tergesa-gesa. Benar, bahwa tempo lagu
yang dinyanyikan/dimainkan terkesan lebih cepat dari biasanya, namun sekali
lagi tetap memperhatikan petunjuk/simbol notasi yang ada. Hal ini tentu sangat
mengusik kenyamanan bernyanyi dari kalangan-kalangan yang ingin tetap
mempertahankan ‘status quo’ (tradisi ‘hela-tarek’ dan ‘mati-angin’), atau mungkin menghambat pemuasan selera/naluri liar mereka yang ingin bernyanyi sesuka
hati mereka.
Begitu pula
dengan proses pengambilan napas yang dirasakan sulit, atau seolah-olah tidak
ada kesempatan bernapas pada saat bernyanyi dikarenakan tempo lagu yang terlalu
cepat?! Kritik ini pernah dilontarkan oleh seorang pendeta yang mempersoalkan
perbedaan napas orang muda/anak-anak dan orang tua.
Dalam sebuah
kebaktian, peserta kebaktian yang rata-rata didominasi oleh kaum tua (jemaat,
majelis, dan termasuk pendeta) tidak bisa menyesuaikan cara bernyanyi dengan para
pemandu yang adalah kelompok PAR karena faktor napas?! Sehingga disarankan agar
di lain kesempatan pemandu pujian yang harus menyesuaikan dengan orang tua.
Muncul
pertanyaan: “Sudah benarkah atau baikkah ‘kaum/orang tua’ bernyanyi
sesuai dengan tuntutan dari sebuah lagu sehingga patut untuk dicontohi/diikuti/disesuaikan?”
Sejauh mata memandang, belum! Sekali lagi, belum!
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Di samping itu,
ada pula bentuk penolakan dalam reaksi bernyanyi yang seharusnya tidak terjadi.
Reaksi tersebut merupakan sebuah aksi balasan yang dipertontonkan oleh sebagian
peserta kebaktian pada saat bernyanyi yang terkesan hendak ‘melawan arus’ atau tidak mau mengikuti
panduan dari pemandu pujian. Sahabat-sahabat GMIT-ku tentu bisa membayangkan
sebuah suasana kebaktian yang betul-betul sangat ‘kacau balau’. Apalagi reaksi ‘melawan
arus’ tersebut datang dari ‘corong’
di atas ‘Mimbar Besar’.
Ternyata masih
ada oknum-oknum yang belum menyadari dan bahkan tidak menghargai keberadaan pemandu
pujian dengan fungsi dan perannya. Atau mungkin karena pemandunya adalah kelompok
anak PAR, sehingga kemampuan mereka diragukan?! Atau mungkin karena masih
‘anak-anak’, jadi tidak perlu dihiraukan?!
Jangan
salah..! Anak-anak ini telah melalui sebuah proses latihan dan/atau persiapan
yang serius sebelum datang kepada tugas memimpin pujian di dalam kebaktian
utama. Sehingga sangat disesali, usaha dan kerja keras pemandu pujian (plus
pemain musik) dalam proses latihan dan/atau persiapan yang telah menguras
energi, pikiran dan waktu mereka, seketika itu ‘hancur berantakan’ oleh ulah oknum-oknum yang minim apresiasinya.
Sudah saatnya
semua pihak mau menyadari dan menghargai fungsi dan peran dari pemandu pujian. Pemandu
pujian sebaiknya dijadikan sebagai satu-satunya pusat panduan dan sekaligus
menjadi contoh pembelajaran puji-pujian liturgi dan/atau puji-pujian jemaat di
dalam sebuah kebaktian.
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Walaupun
demikian, tidak sedikit pula yang menyambut baik perubahan yang kami tawarkan dan yang sudah kami lakukan. Usaha
dan kerja keras tersebut berdampak pada antusiasme kami sendiri (pemandu pujian
dan pemain musik) dan terutama sebagian besar kalangan warga gereja/jemaat
dalam melakukan puji-pujian liturgi/jemaat.
Pemandu pujian
(Kelompok PAR, pen) yang masih awam dengan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat
ternyata sangat terkesan, menikmati dan mengakui keindahan lagu-lagu tersebut.
Hal yang sama juga dialami dan dirasakan oleh anggota jemaat lainnya. Mereka
tidak menyangka kalau lagu/kidung pujian yang dipakai selama ini di dalam
kebaktian di gereja-gereja (GMIT) ternyata indah dan bagus, serta ada nuansa
baru yang memotivasi kesungguhan dan kehikmatan beribadat. AMIN! (Bersambung)
0 comments:
Post a Comment