LAGU GAMPANG &
LAMA
(Tulisan sebelumnya: CATATAN AWAL)
Lagu/puji-pujian
liturgi/jemaat yang dipakai di dalam setiap liturgi kebaktian adalah
lagu/puji-pujian yang sudah dipakai sejak sekian lama yang terambil dari
beberapa buku himpunan pujian seperti Tahlil, Nyanyian Rohani, Kidung Jemaat
dan lain sebagainya yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi gereja/jemaat
GMIT pada umumnya. Lagu/puji-pujian tersebut sering dan/atau selalu dinyanyikan
pada setiap kesempatan kebaktian kita sesuai dengan liturgi yang telah
ditetapkan: Liturgi Kebaktian Utama (Model 1 dan Model 2), dan Liturgi
Kebaktian Khusus lainnya (Paskah, Kenaikan, Pentakosta, Bulan Keluarga, Adven, Natal,
dll). Karenanya, maka lagu/puji-pujian tersebut sudah dianggap ‘enteng’ dan ‘gampang’
oleh banyak kalangan warga gereja/jemaat itu sendiri. Lagu/puji-pujian tersebut
sudah menjadi lagu/puji-pujian ‘lama’ yang biasa (selalu) dipergunakan oleh
gereja (GMIT) dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi.
Ya,
istilah lagu ‘gampang’ dan ‘lama’, sering ditujukan pada hampir semua
lagu/puji-pujian liturgi/jemaat. Namun sangat disayangkan, istilah-istilah
tersebut hanya tinggal istilah yang hampir tidak pernah dibuktikan sedikitpun
di dalam praktek bernyanyi. Kita cenderung menganggap remeh lagu-lagu yang
selalu atau sudah sering dinyanyikan tanpa mau menyadari apakah
lagu/puji-pujian tersebut sudah dinyanyikan dengan baik dan benar atau belum,
dan akhirnya kita dengan ‘over pe de’
nya (percaya diri yang berlebihan, pen) merasa bahwa cara/praktek kita
menyanyikan lagu-lagu tersebut sudah baik dan benar adanya. Sebuah hubungan
‘sebab-akibat’ yang sungguh memprihatinkan di dalam melakukan aktifitas
puji-pujian (bernyanyi, pen).
Setiap lagu/puji-pujian ‘digampang-gampangkan’ sesuai selera dan kehendak hati, diubah ‘semau gue’, dan ‘diamputasi jiwa dan spiritnya’ demi memuaskan hasrat pribadi. Dan lebih parah lagi, semua tindakan tersebut dilakukan dengan penuh keangkuhan tanpa merasa bersalah/berdosa sedikit pun. Sebenarnya, tindakan-tindakan tersebut sudah cukup membuktikan bahwa kita adalah ‘tersangka/pelaku utama yang membunuh jiwa dan spirit kekristenan’ kita sendiri (dan perlu/patut dijerat dengan pasal berencana, pen).
Setiap lagu/puji-pujian ‘digampang-gampangkan’ sesuai selera dan kehendak hati, diubah ‘semau gue’, dan ‘diamputasi jiwa dan spiritnya’ demi memuaskan hasrat pribadi. Dan lebih parah lagi, semua tindakan tersebut dilakukan dengan penuh keangkuhan tanpa merasa bersalah/berdosa sedikit pun. Sebenarnya, tindakan-tindakan tersebut sudah cukup membuktikan bahwa kita adalah ‘tersangka/pelaku utama yang membunuh jiwa dan spirit kekristenan’ kita sendiri (dan perlu/patut dijerat dengan pasal berencana, pen).
Sebenarnya
kita sebagai warga gereja/jemaat dan/atau peserta kebaktian telah ‘hanyut’
terbawa ‘arus tradisi’ bernyanyi yang suka menyalahi prinsip-prinsip dan
aturan-aturan dasar seni baik secara teori maupun praktek. ‘Tradisi’ tersebut
yang akhirnya menjadi ‘warisan’ turun-temurun gereja/jemaat yang berada di
bawah naungan GMIT dari masa ke masa. Upaya merubah tradisi yang telah mendarah
daging tersebut terkesan sangat sulit untuk dilakukan baik oleh pihak gereja
maupun oleh jemaat sendiri. Bahkan Unit Pembantu Pelayanan khusus yang membidangi musik gerejawi
pun tidak mampu berbuat banyak untuk membenahi cara/praktek puji-pujian kita.
Sudah saatnya gereja, khususnya Unit Pembantu Pelayanan Ibadah/Musik Gerejawi, perlu/harus diperlengkapi dengan SDM (sumber daya manusia) yang memiliki pengetahuan dan kompetensi di bidang seni musik dan seni suara. Dengan demikian maka gereja diharapkan mulai melakukan sebuah terobosan baru yang berpihak pada pembenahan lagu/puji-pujian (dan musik) gerejawi di dalam praktek. Terobosan yang dimaksud adalah memberikan pedoman dan arah (petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan) yang jelas dan terpadu yang berhubungan dengan praktek puji-pujian (dan musik pengiring) berdasarkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan dasar seni musik dan seni suara yang didasari pula dengan sebuah tinjauan teologis-alkitabiah yang baik.
Sudah saatnya gereja, khususnya Unit Pembantu Pelayanan Ibadah/Musik Gerejawi, perlu/harus diperlengkapi dengan SDM (sumber daya manusia) yang memiliki pengetahuan dan kompetensi di bidang seni musik dan seni suara. Dengan demikian maka gereja diharapkan mulai melakukan sebuah terobosan baru yang berpihak pada pembenahan lagu/puji-pujian (dan musik) gerejawi di dalam praktek. Terobosan yang dimaksud adalah memberikan pedoman dan arah (petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan) yang jelas dan terpadu yang berhubungan dengan praktek puji-pujian (dan musik pengiring) berdasarkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan dasar seni musik dan seni suara yang didasari pula dengan sebuah tinjauan teologis-alkitabiah yang baik.
(Bersambung ke: KEMBALI KE TEKS ASLI)
0 comments:
Post a Comment