(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Jika kita peka,
maka kita pun pasti merasakan kondisi puji-pujian kita yang sungguh
memprihatinkan dari masa ke masa. Keprihatinan tersebut muncul akibat dari cara/praktek
bernyanyi atau membawakan puji-pujian liturgi maupun puji-pujian jemaat lainnya
yang dilakukan dari generasi ke generasi sangatlah jauh dari apa disebut
sebagai bernyanyi yang baik dan benar. Sebuah cara/praktek yang sama
sekali mengabaikan unsur-unsur etika dan estetika berkesenian.
Dan itu
terjadi hanya pada sebagian denominasi gereja non karismatik (salah satunya
adalah GMIT, pen) yang tetap menggunakan puji-pujian liturgi/jemaat yang
terambil dari buku himpunan lagu/pujian seperti TAHLIL, NYANYIAN ROHANI, KIDUNG
JEMAAT, MAZMUR, dan lain-lain.
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Dari kenyataan
ini, ada banyak sekali saudara-saudara kita, yang mungkin terpaksa atau dengan
kesadaran sendiri, beralih dari GMIT dan bergabung dengan gereja-gereja dari
denominasi lain yang lebih fokus pada puji-pujian dan penyembahan.
Di sana
(denominasi lain, pen), katanya,
terdapat puji-pujian yang memiliki spirit/semangat untuk memuji dan memuliakan
ALLAH, dan, katanya lagi, ROH KUDUS
hadir dan bekerja di sana. Sudah begitu, GMIT pun dicitrakan negatif oleh
berbagai kalangan di luar GMIT yang sudah tentu sangat mengganggu.
Katanya, dalam melakukan puji-pujian,
GMIT (warga gereja dan/atau gereja, pen) identik dengan: ‘hela-tarek’ (bernyanyi dengan tempo amat-sangat-terlalu
lambat), ‘mati-angin’ (bernyanyi
dengan loyo dan tidak bersemangat), ‘jato-mat’
(bernyanyi dengan tidak memperhatikan ketukan), dan ‘mati-gaya’ (bernyanyi dengan asal-asalan tanpa penghayatan dan
ekspresi), dan bahkan lebih dari itu, mereka mengklaim bahwa ROH KUDUS tidak
hadir dalam kebaktian-kebaktian yang dilakukan di dalam gereja-gereja GMIT.
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Tentang
beralihnya saudara-saudara kita ke denominasi lain, oleh banyak kalangan GMIT,
bukan disebabkan semata-mata oleh kondisi puji-pujian kita yang berbeda dengan denominasi lain, tetapi
ada faktor-faktor lain yang turut memberi andil.
Memang benar,
bukan hanya karena faktor puji-pujian kita yang terpuruk, tapi menurut hemat
saya, hal ini juga mengindikasikan bahwa faktor puji-pujian juga termasuk salah
satu yang memberi andil pembelotan.
Ada begitu banyak ‘kesaksian’ (baca:
pernyataan) dari mereka yang pindah yang mengeluhkan cara/praktek puji-pujian
di dalam GMIT.
Sedangkan
mengenai citra-citra negatif yang dilekatkan pada diri GMIT, ada kesan warga
GMIT sama sekali tidak merasa terusik atau masa
bodoh (baca: anjing menggonggong kafila terus berlalu)? Atau gaung
pencitraan negatif tersebut belum sampai ke ‘telinga pejabat/rakyat’ GMIT? Atau
GMIT merasa bahwa apa dilakukan berhubungan dengan puji-pujian sudah baik dan
benar adanya?
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Sudah saatnya
sekarang kita (warga GMIT, pen) perlu
merasa terusik dengan berpindahnya saudara-saudara kita ke denominasi lain
hanya ‘gara-gara’ ketidak-puasan terhadap kondisi puji-pujian kita. Sudah
saatnya sekarang kita perlu merasa
terusik dengan pencitraan-pencitraan negatif yang mencoreng wajah kita. Dan
sudah saatnya sekarang kita pula perlu
merasa terusik dengan cara/praktek puji-pujian yang kita lakukan selama ini
yang memang tidak memenuhi syarat-syarat berkesenian. Ya, kita perlu merasa terusik!
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Yang saya
maksudkan dengan ungkapan kita perlu
merasa terusik di sini bukan sebuah ajakan provokatif agar kita berbuat hal-hal yang akhirnya mencoreng dan
merusak nama baik kita (warga GMIT) sendiri. Ungkapan ini harus disikapi secara
baik dan bertanggung jawab sebagai sebuah ajakan positif yang dapat membuka
wawasan kita semua untuk berubah. Berubah menuju arah yang lebih baik tentunya.
Diharapkan, ungkapan ini dapat memotivasi kita semua untuk mulai bercermin dan
menata diri, serta membenahi segala kekurangan yang ada di dalam cara/praktek
puji-pujian kita mulai dari sekarang. (Bersambung)
0 comments:
Post a Comment