English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Wednesday, January 15, 2014

Liturgi KUM (Dari Perpustakaan Gereja):

“BERBEDA-BEDA (DAN) TIDAK SAMA”

            
        Pada setiap Kebaktian Utama Minggu (KUM) kecuali pada Kebaktian Hari-Hari Raya Gerejawi, gereja-gereja yang tergabung di dalam Wilayah Pelayanan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) selalu menggunakan Tata Ibadah/Liturgi Kebaktian Utama yang sama yakni Tata Ibadah/Liturgi Model I dan Model II. Kedua Model Liturgi ini digunakan secara bergantian pada setiap minggunya.

Pada hakekatnya, himpunan Tata Ibadah/Liturgi Kebaktian Utama Minggu Model I dan Model II adalah sebuah panduan bagi jemaat dan/atau peserta kebaktian untuk dapat mengikuti setiap tahapan proses kebaktian dari awal hingga selesai. Tahapan proses kebaktian yang tercantum di dalam Tata Ibadah/Liturgi Model I dan Model II adalah sebagai berikut:

Persiapan, Votum, Salam, Introitus, Pengakuan Dosa, Pemberitaan Anugerah ALLAH, Puji-Pujian, Pembacaan Mazmur, Pemberitaan Firman Tuhan, Khotbah, Pengakuan Iman dan Persembahan Jemaat. Doa Syafaat, Nyanyian Jemaat, Berkat, Saat Teduh dan Suara Gembala.

Setiap gereja dalam Wilayah Pelayanan GMIT (Gereja-Gereja Masehi Injili di Timor) sudah pasti memiliki Buku Himpunan Liturgi Kebaktian Utama yang seragam/sama dalam setiap tahapan prosesnya seperti yang telah disebutkan di atas. Namun sangat disayangkan, keseragaman tahapan tersebut tidak diikuti dengan keseragaman bernyanyi atau melagukan Pujian/Nyanyian Jemaat yang ditetapkan oleh Sinode GMIT sebagai respon/tanggapan jemaat/peserta kebaktian pada setiap tahapan tersebut.

Keseragaman yang dimaksudkan disini bukanlah keseragaman dalam arti bahwa setiap gereja harus menyanyikan lagu-lagu Pujian/Nyanyian Jemaat yang telah ditetapkan tersebut. Keseragaman yang dimaksudkan disini bukanlah keseragaman dalam arti bahwa sudah tidak terbuka lagi kemungkinan untuk menggantikan lagu-lagu tersebut dengan lagu-lagu yang lain. Bukan! Namun keseragaman yang dimaksudkan adalah keseragaman dalam hal cara menyanyikan/melagukan notasi lagu atau ragam lagu dari Pujian/Nyanyian Jemaat yang ada dan/atau yang telah ditetapkan di dalam himpunan Tata Ibadah/Liturgi Model I dan Model II tersebut.

Ada kecenderungan terjadi perbedaan yang sangat mencolok dari cara/praktek bernyanyi jemaat terhadap lagu-lagu yang dipakai di dalam Liturgi di tiap-tiap gereja di dalam Wilayah Pelayanan GMIT. Pujian/Nyanyian Jemaat yang sama dinyanyikan dengan cara yang berbeda, dan lebih-lebih lagu-lagu tersebut dinyanyikan tidak sesuai dengan aturan dan prinsip dasar berkesenian (seni musik dan seni suara). Dan hal ini sebenarnya sangat mengganggu baik dari segi cita rasa seni (vocal dan musikalitas), dan sudah tentu pula akan menciderai (bahkan ‘membunuh’) jiwa dan spirit dari puji-pujian tersebut yang pada hakekatnya pula, menurut hemat saya, adalah jiwa dan spirit kekristenan.
Suasana Penthabisan MJGSN 18 Desember 2011

Kita (warga jemaat/gereja) seringkali mengabaikan dan cenderung masa bodoh dengan penerapan puji-pujian yang baik dan benar, dan bahkan tidak menganggap puji-pujian (baca: bernyanyi) sebagai suatu hal yang sangat penting dalam sebuah proses kebaktian. Melakukan puji-pujian dalam bentuk bernyanyi dianggap hanya sebagai faktor pelengkap yang tidak penting. Padahal menurut hemat saya, melakukan puji-pujian (baca: bernyanyi) adalah sebuah kewajiban mutlak bagi setiap orang yang mengaku diri sebagai orang KRISTEN. Sesuai dengan perintah liturgi, Bernyanyi menjadi hal wajib yang harus dilakukan oleh setiap orang Kristen (baca: JEMAAT) dalam berbakti kepada ALLAH, memuji dan memuliakan-NYA dalam sebuah kebaktian.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakseragaman dalam hal bernyanyi tersebut, antara lain:

1) Minimnya pengetahuan jemaat atau peserta kebaktian akan Pujian/Nyanyian Jemaat yang ada di dalam setiap Liturgi (mudah-mudahan salah, pen). Ada juga pemahaman yang keliru di dalam pola pikir jemaat bahwa yang penting dari sebuah kebaktian hanyalah mendengarkan khotbah dan memberi persembahan (mudah-mudahan salah juga, pen).
2) Pemahaman dan/atau pengetahuan jemaat terhadap Pujian/Nyanyian Jemaat yang berbeda-beda, sebagai akibat dari begitu beragamnya latar belakang suku/etnis di dalam jemaat (?). Perlu penelitian lebih lanjut.
3) Kebiasaan bernyanyi yang salah sejak dulu yang diwariskan secara turun-temurun hingga kini, dan
4) Pengutipan/penulisan notasi lagu dari Pujian/Nyanyian Jemaat yang berbeda-beda dari gereja yang satu dengan gereja yang lain yang tidak bersumber dari referensi/teks lagu yang asli.

Berdasarkan pengamatan sekian lama terhadap praktek bernyanyi di gereja-gereja dalam lingkup GMIT, khususnya dalam hal menyanyikan Pujian/Nyanyian Jemaat yang terdapat di dalam Liturgi Model I dan II, keempat faktor penyebab di atas saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Keempat faktor inilah yang perlu mendapat perhatian kita bersama sehingga secepatnya kita (warga gereja/jemaat dan seluruh elemen dalam GMIT) bisa keluar dari keterpurukan dalam hal “bernyanyi memuji Tuhan”. AMIN.

0 comments:

Post a Comment