(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)
Siap Menghadapi Resistensi
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Sebagaimana
yang telah saya utarakan pada tulisan sebelumnya, sekali lagi, mari kita
sama-sama mulai mereformasi cara/praktek puji-pujian kita dari tempat di mana
kita berada! Memang tidak mudah untuk melakukan suatu pembaharuan/perubahan
secara drastis, yang mana kita harus merubah sebuah ‘tradisi’ yang telah ‘mendarah
daging’ di setiap generasi dari masa ke masa.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa kita pasti akan berhadapan dengan warga jemaat/gereja dan
bahkan pemimpin umat kita yang menunjukkan sikap resistensi/penolakan terhadap pembaharuan
yang kita buat.
Namun kita
tidak boleh menyerah demi sebuah perbaikan yang lebih baik ke depan. Kita harus
memulainya dari sekarang secara berangsur-angsur dan/atau bertahap. Apalagi,
aksi pembaharuan ini adalah sebuah aksi yang mulia demi menyelamatkan ‘jiwa/spirit kekristenan’ kita di
masa-masa yang akan datang.
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Ada sebuah
kisah yang saya ingin ceritakan tentang upaya pembaharuan terhadap cara/praktek
menyanyikan puji-pujian liturgi dan puji-pujian jemaat yang tengah
diperjuangkan.
Dimulai dari
sebuah Pos Pelayanan (Pospel) yang baru, kami (saya dan beberapa anggota
Majelis Jemaat setempat) sepakat dan bertekad untuk mengupayakan sebuah pembaharuan
dalam cara/praktek bernyanyi yang baik dan benar sesuai dengan tuntutan dari
sebuah lagu. Melalui sebuah pengamatan dan latihan yang cukup lama bersama
beberapa warga jemaat/gereja setempat yang memiliki kerinduan memimpin/memandu
puji-pujian liturgi/jemaat, akhirnya saya memilih sekelompok anak PAR yang
terdiri dari 4 (empat) orang untuk menjadi Pemimpin atau Pemandu Pujian.
Penetapan keempat
anak PAR menjadi Pemandu Pujian mendapat tanggapan beragam. Ada tanggapan
positif yang patut diapresiasi, dan ada tanggapan negatif yang cenderung
memojokkan dan menganggap remeh kemampuan kelompok anak PAR tersebut. Ada
begitu banyak saran dan kritik yang tidak membangun yang ditujukan kepada
anak-anak ini yang justru adalah ‘tunas-tunas’
gereja yang pasti akan bertumbuh menjadi ‘tulang
punggung’ gereja pada suatu kelak nanti.
Sebenarnya
kritik, saran, dan bahkan protes tersebut intinya adalah menolak perubahan yang kami coba rintis. Biar pun demikian, kami
tetap pada tekad untuk memperjuangkan suatu perubahan yang lebih baik, walaupun
sikap resistensi yang ditunjukkan oleh berbagai kalangan tetap ada.
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Sikap
resistensi/penolakan yang kami terima/rasakan bukan hanya dari kalangan warga
jemaat/gereja, melainkan juga dari sebagian anggota majelis jemaat dan bahkan dari
beberapa pendeta sendiri. (Bersambung)
0 comments:
Post a Comment