English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Saturday, January 25, 2014

SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan…! (5)


(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)

Bentuk-Bentuk Resistensi

Ada berbagai bentuk resistensi yang ditunjukkan, antara lain: adanya keluhan-keluhan yang dilontarkan baik secara terang-terangan maupun ‘gelap-gelapan’ (baca: sembunyi-sembunyi, pen) terutama tentang tempo (cepat-lambat) nyanyian yang cepat yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam bernyanyi khususnya dalam hal pengambilan napas, sehingga muncul kritik yang mempersoalkan perbedaan napas antara orang tua dan orang muda (baca: anak-anak); dan adanya reaksi bernyanyi yang seolah-olah ingin ‘melawan arus’ bernyanyi dari pemandu pujian.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Memang perubahan yang kami lakukan pertama-tama dititikberatkan pada penerapan tempo bernyanyi sesuai petunjuk/simbol notasi yang berhubungan dengan birama dan tempo. Penerapan tempo menjadi fokus utama karena sejauh ini yang sangat menonjol dan yang paling memberi citra negatif bagi kita (warga GMIT) dalam bernyanyi adalah ‘hela-tarek’ dan ‘mati-angin’.

Sebenarnya penerapan tempo bernyanyi masih dalam batas wajar dengan tetap mempertimbangkan faktor kenyamanan di saat bernyanyi dan bermain musik, dan menghindari kesan tergesa-gesa. Benar, bahwa tempo lagu yang dinyanyikan/dimainkan terkesan lebih cepat dari biasanya, namun sekali lagi tetap memperhatikan petunjuk/simbol notasi yang ada. Hal ini tentu sangat mengusik kenyamanan bernyanyi dari kalangan-kalangan yang ingin tetap mempertahankan ‘status quo’ (tradisi ‘hela-tarek’ dan ‘mati-angin’), atau mungkin menghambat pemuasan selera/naluri liar mereka yang ingin bernyanyi sesuka hati mereka.

Begitu pula dengan proses pengambilan napas yang dirasakan sulit, atau seolah-olah tidak ada kesempatan bernapas pada saat bernyanyi dikarenakan tempo lagu yang terlalu cepat?! Kritik ini pernah dilontarkan oleh seorang pendeta yang mempersoalkan perbedaan napas orang muda/anak-anak dan orang tua.

Dalam sebuah kebaktian, peserta kebaktian yang rata-rata didominasi oleh kaum tua (jemaat, majelis, dan termasuk pendeta) tidak bisa menyesuaikan cara bernyanyi dengan para pemandu yang adalah kelompok PAR karena faktor napas?! Sehingga disarankan agar di lain kesempatan pemandu pujian yang harus menyesuaikan dengan orang tua.

Muncul pertanyaan: “Sudah benarkah atau baikkah ‘kaum/orang tua’ bernyanyi sesuai dengan tuntutan dari sebuah lagu sehingga patut untuk dicontohi/diikuti/disesuaikan?” Sejauh mata memandang, belum! Sekali lagi, belum!

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Di samping itu, ada pula bentuk penolakan dalam reaksi bernyanyi yang seharusnya tidak terjadi. Reaksi tersebut merupakan sebuah aksi balasan yang dipertontonkan oleh sebagian peserta kebaktian pada saat bernyanyi yang terkesan hendak ‘melawan arus’ atau tidak mau mengikuti panduan dari pemandu pujian. Sahabat-sahabat GMIT-ku tentu bisa membayangkan sebuah suasana kebaktian yang betul-betul sangat ‘kacau balau’. Apalagi reaksi ‘melawan arus’ tersebut datang dari ‘corong’ di atas ‘Mimbar Besar’.

Ternyata masih ada oknum-oknum yang belum menyadari dan bahkan tidak menghargai keberadaan pemandu pujian dengan fungsi dan perannya. Atau mungkin karena pemandunya adalah kelompok anak PAR, sehingga kemampuan mereka diragukan?! Atau mungkin karena masih ‘anak-anak’, jadi tidak perlu dihiraukan?!

Jangan salah..! Anak-anak ini telah melalui sebuah proses latihan dan/atau persiapan yang serius sebelum datang kepada tugas memimpin pujian di dalam kebaktian utama. Sehingga sangat disesali, usaha dan kerja keras pemandu pujian (plus pemain musik) dalam proses latihan dan/atau persiapan yang telah menguras energi, pikiran dan waktu mereka, seketika itu ‘hancur berantakan’ oleh ulah oknum-oknum yang minim apresiasinya.

Sudah saatnya semua pihak mau menyadari dan menghargai fungsi dan peran dari pemandu pujian. Pemandu pujian sebaiknya dijadikan sebagai satu-satunya pusat panduan dan sekaligus menjadi contoh pembelajaran puji-pujian liturgi dan/atau puji-pujian jemaat di dalam sebuah kebaktian.

Sahabat-sahabat GMIT-ku! Walaupun demikian, tidak sedikit pula yang menyambut baik perubahan yang kami tawarkan dan yang sudah kami lakukan. Usaha dan kerja keras tersebut berdampak pada antusiasme kami sendiri (pemandu pujian dan pemain musik) dan terutama sebagian besar kalangan warga gereja/jemaat dalam melakukan puji-pujian liturgi/jemaat.

Pemandu pujian (Kelompok PAR, pen) yang masih awam dengan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat ternyata sangat terkesan, menikmati dan mengakui keindahan lagu-lagu tersebut. Hal yang sama juga dialami dan dirasakan oleh anggota jemaat lainnya. Mereka tidak menyangka kalau lagu/kidung pujian yang dipakai selama ini di dalam kebaktian di gereja-gereja (GMIT) ternyata indah dan bagus, serta ada nuansa baru yang memotivasi kesungguhan dan kehikmatan beribadat. AMIN! (Bersambung)

0 comments:

Post a Comment