Surat Cinta Untuk Sahabat-Sahabat GMIT-ku

SOS: 'Selamatkan Jiwa dan Spirit Kekristenan' kita melalui puji-pujian (Label: Surat Cinta).

Memainkan Lagu-Lagu dalam Edisi Akord

Pemain musik gereja dituntut untuk terus berlatih dan berlatih (Label: Panduan Musik).

Kumpulan Arransemen Lagu untuk Koor Musik

Kumpulan Arransemen Lagu untuk Koor Musik oleh Pietro T. M. Netti.

Praktek Puji-Pujian Jemaat: Antara Adat dan Tradisi

Praktek Puji-Pujian Jemaat: Antara Adat dan Tradisi (Label: Pujian Jemaat).

Spirit Musik Pengiring dan Puji-Pujian Jemaat

Spirit Musik Pengiring dan Puji-Pujian Jemaat (Label: Musik Pengiring).

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Thursday, December 31, 2015

230 Lagu NKB Edisi Akord Karya Rumah MUGER Kupang

NYANYIKANLAH KIDUNG BARU EDISI AKORD

Karya: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH MUGER KUPANG


NYANYIKANLAH KIDUNG BARU EDISI AKORD


230 lagu untuk pengiring ibadah

Edisi Terbatas (untuk kalangan sendiri)

Hak Cipta NKB Edisi Akord dipegang oleh:
PIETRO T. M. NETTI, Tuan Rumah RUMAH MUGER KUPANG
(Rumah Musik Gereja-Kupang)
Jl.Kesekrom No 1 Naikolan-Kupang-NTT

Hak Cipta NKB dipegang oleh: Sinode Am GKI


Diterbitkan oleh: Rumah MUGER Kupang
Desain & setting sampul: Pietro T. M. Netti
Cetakan pertama: 2013
Cetakan kedua: 2015
Edisi: Terbatas (untuk kalangan sendiri)

Pesan Moral: 
“Mohon agar tidak memperbanyak atau menggandakan naskah buku ini tanpa seijin tuan rumah Rumah MUGER Kupang!”

-----------------------------------------------------------

Kata Pengantar

Puji syukur kepada TUHAN atas penyertaan dan bimbingan-NYA, akhirnya penyusunan buku nyanyian Nyanyikanlah Kidung Baru dalam edisi akord (NKB Edisi Akord) dapat dirampungkan pada bulan Mei 2013 silam. 

Buku nyanyian NKB Edisi Akord ini disusun dalam rangka membantu para pemain musik gereja yang mau belajar dan/atau memainkan lagu-lagu yang terhimpun di dalam buku nyanyian NKB dengan menerapkan harmoni akord secara baik dan teratur.

Penyusunan buku ini juga dimaksudkan untuk melengkapi koleksi himpunan nyanyian jemaat dalam edisi akord lainnya yang telah disusun dan diterbitkan oleh Yamuger (Yayasan Musik Gereja Indonesia) yakni Kidung Jemaat Edisi Akord (KJ Edisi Akord) dan Pelengkap Kidung Jemaat Edisi Akord (PKJ Edisi Akord).

Kiranya buku nyanyian NKB Edisi Akord (untuk kalangan sendiri) ini bisa bermanfaat bagi para pemain musik gereja dalam memainkan lagu-lagu yang terhimpun di dalam buku nyanyian NKB secara baik dan teratur dalam penerapan harmoni akordnya.

Kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan guna penyempurnaan harmoni akord di masa-masa yang akan datang. IMANUEL!



Pietro T. M. Netti

Saturday, December 26, 2015

NKB Edisi Akord (2) Mengikuti Jejak KJ & PKJ Edisi Akord


Semula, sejak mulai belajar bermain lagu-lagu menggunakan KJ Edisi Akord (tahun 2004) sebagai panduan, saya merasa sangat terbantu dengan harmoni-harmoni akord yang dituliskan di setiap lagunya. Memang pada awalnya terasa sangat sulit, tapi karena rasa ingin tahu yang sangat tinggi, saya pantang menyerah untuk terus mempelajari cara dan teknik bermain semampu saya. Seiring waktu berjalan, saya mulai menemukan cara dan teknik permainan ala saya sendiri, dan mulai menikmati harmoni akord dari setiap lagu yang saya mainkan.
Buku NKB Edisi Akord karya Rumah MUGER-Kupang

Ternyata lagu-lagu dalam himpunan Kidung Jemaat sangat bagus dan berkualitas karena memiliki harmoni akord yang sangat indah dan teratur. Harmoni-harmoni akord yang diterapkan pada lagu-lagu di dalam KJ Edisi Akord sungguh di luar dugaan saya ketika dimainkan.

Ya, sekali lagi saya katakan, sangat indah dan teratur. Harmoni akord yang ada sungguh menghadirkan harmoni musik klasik yang diharapkan sebagaimana layaknya lagu-lagu berkategori Hymn dan Anthem. Memang sungguh di luar dugaan saya, karena sudah sejak lama lagu-lagu Kidung Jemaat maupun lagu-lagu lainnya sering disuguhkan oleh kebanyakan pemain musik gereja dengan permainan harmoni yang, dengan sangat menyesal saya harus katakan, tidak indah dan tidak teratur. Mohon maaf atas pernyataan saya ini karena mungkin saja terlalu subyektif. Tapi kenyataan ini pula yang menyebabkan saya untuk sekian lamanya tidak tertarik dengan musik dan puji-pujian yang biasa dipakai di dalam kebaktian-kebaktian di gereja (khususnya gereja-gereja di lingkup GMIT).

Memang, kendala terbesar yang saya temui selama berpuluh-puluh tahun dari para pemain musik adalah kendala harmoni akord dalam memainkan lagu-lagu Kidung Jemaat. Penempatan akord pada bagian-bagian lagu tidak boleh asal, butuh penghayatan dan/atau apresiasi yang mendalam dari seorang pemain musik terhadap lagu yang dimainkan. Di samping itu, pemahaman yang memadai tentang akord dan harmoni akord itu sendiri juga (baca: teori musik) akan sangat membantu menciptakan harmoni-harmoni yang diharapkan. Dan, pengalaman (jam terbang) pun berperan penting dalam menghasilkan harmoni-harmoni yang indah dan teratur.

“Kembali ke harmoni!”

Di samping menghadirkan harmoni yang diharapkan, harmoni yang dalam KJ Edisi Akord pun akhirnya membuat saya semakin jatuh cinta dengan lagu-lagu yang sesungguhnya antara asing dan tidak asing di telinga saya. Begitu pula dengan PKJ Edisi Akord yang saya peroleh pada tahun 2010/2011 lalu semakin menambah perbendaharaan permainan lagu-lagu dalam edisi akord. Penggunaan KJ dan PKJ Edisi Akord ini, sebagaimana dikatakan di atas, sangat membantu saya (dan pastinya pemain musik gereja) dalam hal keindahan dan keteraturan permainan, dan bahkan konsistensi permainan dari waktu ke waktu.

Sedikit paparan di atas menyiratkan beberapa kemudahan dan manfaat ketika kita bermain musik untuk mengiringi puji-pujian dengan menggunakan petunjuk akord. Saya yakin bahwa pemain musik gereja yang telah terbiasa menggunakan buku edisi akord akan sangat diuntungkan ketika harus memainkan sejumlah lagu baik yang sudah diketahui (biasa dimainkan) maupun belum diketahui (tidak biasa dimainkan). Dan, saya juga menjamin bahwa pemain musik yang sudah terbiasa tersebut akan selalu dan tetap menghadirkan permainan musik yang indah dan teratur.

Keuntungan, kemudahan dan manfaat luar biasa dari KJ dan PKJ dalam Edisi Akord inilah yang mendorong saya untuk mencoba menyusun NKB Edisi Akord yang setelah dicari-cari ternyata memang belum ada. Saya tergerak menyusun NKB Edisi Akord ini, di samping untuk dipakai secara pribadi, juga untuk membantu sahabat-sahabat sesama pemain musik gereja yang mungkin saja membutuhkan dan/atau yang sudah terbiasa bermain musik menggunakan buku-buku lagu dalam edisi akord. Saya juga termotivasi untuk, kalau boleh, bisa menjadi orang pertama yang menyusun NKB dalam Edisi Akord dan melengkapi koleksi buku-buku lagu dalam edisi akord yang sudah ada.

Melalui postingan ini, saya ingin memberitahukan secara terbuka kepada semua pihak, khususnya Sinode Am GKI selaku pemegang hak cipta, bahwa saya telah menyelesaikan penyusunan buku nyanyian Nyanyikanlah Kidung Baru Edisi Akord dan siap dipergunakan oleh saya sendiri maupun sahabat-sahabat saya (sesama pemain musik gereja) untuk tujuan pelayanan. Perlu dicatat di sini bahwa walaupun kerinduan hati saya sebagaimana yang terungkap dalam episode curahan hati di atas begitu besar, tapi saya sedikitpun tidak berencana untuk menjual Buku NKB Edisi Akord ini secara bebas. Buku NKB Edisi Akord ini akan dicetak terbatas dan hanya dipakai oleh kalangan terbatas.

Semoga kehadiran NKB Edisi Akord ini bisa memenuhi harapan para pengguna buku-buku nyanyian dalam edisi akord. Kritik dan saran yang konstruktif sangat dibutuhkan demi penyempurnaan isi buku di masa-masa yang akan datang.

Tuesday, December 22, 2015

NKB Edisi Akord (1) Menambah Koleksi Buku Nyanyian Dalam Edisi Akord


Buku Nyanyikanlah Kidung Baru Edisi Akord karya Rumah MUGER-Kupang disusun dalam rangka menambah/melengkapi koleksi buku-buku nyanyian edisi akord lainnya yang telah beredar luas. Penyusunan buku nyanyian ini merupakan sebuah upaya pribadi, beranjak dari ketidaktersediaan di pasaran padahal isi buku (lagu-lagunya) sudah dikenal luas dan selalu dipergunakan di hampir setiap peribadatan (di gereja-gereja dalam lingkup Sinode GMIT).
NKB Edisi Akord karya Rumah MUGER -Kupang

Sebagai pemain musik gereja yang selalu berhadapan dengan lagu-lagu tersebut, saya merasakan ada sesuatu yang kurang saat harus memainkan lagu-lagu NKB dibanding dengan lagu-lagu KJ maupun PKJ yang sudah ada edisi akordnya. Perasaan tersebut muncul karena memang lagu-lagu NKB belum dibuat dalam edisi akord, sehingga perlu upaya ekstra setiap kali saya harus memainkan lagu-lagu tersebut. Upaya ekstra yang dimaksud adalah bahwa saya harus bermain sambil berpikir keras tentang penggunaan/penempatan harmoni akord di setiap bagian lagu.

Mungkin keadaannya tidak akan sesulit itu jika saya telah menguasai (menghafal) seluruh lagu yang ada. Dalam hal penguasaan lagu, saya bukan orangnya, karena seluruh lagu yang ada baik yang terhimpun di dalam KJ, PKJ, NKB itu sendiri, maupun buku-buku nyanyian lainnya sangat asing di telinga saya. Saya tidak pernah tertarik sebelumnya untuk menyanyikan lagu-lagu tersebut apalagi memainkannya. Dalam pengalaman bergereja (dari masa kecil saya hingga dengan saat saya mulai mempelajari lagu-lagu tersebut), saya merasakan adanya ketidaknyamanan dalam bernyanyi, dan ketidakberaturan dalam hal ketukan, tempo, dan harmoni dari lagu-lagu tersebut.
Contoh: NKB 188: Tiap Langkahku

Karena ketertarikan saya terhadap lagu-lagu tersebut datang terlambat, maka akan sangat tidak mungkin bagi untuk bisa menghafal seluruh lagu tersebut. Lagi pula, untuk mengembangkan kemampuan permainan musik (bermain musik sambil membaca seluruh notasi lagu) saya tidak ingin menghafal lagu-lagu tersebut. Saya selalu ingin melatih refleks permainan dari “mata turun ke hati” (baca: “dari mata menuju ke otak dan turun ke jari-jemari”). Setidaknya, anjuran itu pula yang selalu saya sampaikan kepada anak-anak didik saya dalam belajar dan/atau bermain musik (piano).

Berangkat dari gambaran di atas, maka mau tidak mau saya harus menyusun sendiri NKB Edisi Akord. Penyusunan NKB Edisi Akord ini telah menjadi satu prioritas kerja yang harus saya lakukan guna menjawab kebutuhan saya secara pribadi sebagai pemain musik gereja. Memang, tekad ini menjadi begitu kuat ketika diketahui bahwa NKB Edisi Akord belum disusun dan/atau diterbitkan oleh siapapun baik Yamuger yang telah menerbitkan Kidung Jemaat Edisi Akord dan Pelengkap Kidung Jemaat Edisi Akord, maupun oleh Sinode Am GKI sebagai pemegang hak cipta buku nyanyian NKB.

Pada Maret 2013, kerja dimulai, lagu demi lagu diketik dengan akord, dan hasilnya NKB Edisi Akord (Cetakan ke-1) pun rampung pada bulan Mei 2013. Pada cetakan ke-1, buku NKB Edisi Akord ini hanya dicetak (printed) sebanyak 1 (satu) eksemplar dan dipergunakan secara khusus oleh saya sendiri. Hasil kerja ini dipakai sebagai bahan uji coba, review untuk kemudian dilakukan perbaikan/koreksi sedikit demi sedikit guna mencapai hasil yang lebih baik dan lebih baik lagi. Dan, hasil uji coba, review dan perbaikan/koreksi ini akhirnya baru menjadi ‘sempoerna’ (baca: selesai) pada 14 Desember 2015 lalu. Sebuah kerja dalam kurun waktu yang cukup lama di tengah-tengah rutinitas keseharian.

Melalui postingan ini, saya ingin memberitahukan secara terbuka kepada semua pihak, khususnya Sinode Am GKI selaku pemegang hak cipta, bahwa saya telah menyelesaikan penyusunan buku nyanyian Nyanyikanlah Kidung Baru Edisi Akord dan siap dipergunakan oleh saya sendiri maupun sahabat-sahabat saya (sesama pemain musik gereja) untuk tujuan pelayanan. Perlu dicatat di sini bahwa walaupun kerinduan hati saya sebagaimana yang terungkap dalam episode curahan hati di atas begitu besar, tapi saya sedikitpun tidak berencana untuk menjual Buku NKB Edisi Akord ini secara bebas. Buku NKB Edisi Akord ini akan dicetak terbatas dan hanya dipakai oleh kalangan terbatas.

Semoga kehadiran NKB Edisi Akord ini bisa menambah koleksi buku-buku nyanyian dalam edisi akord. Kritik dan saran yang konstruktif sangat dibutuhkan demi penyempurnaan isi buku di masa-masa yang akan datang.

Saturday, December 19, 2015

Telah Hadir NKB Edisi Akord Cetakan Ke-2 Karya Rumah MUGER-Kupang

Melalui sebuah proses yang tidak singkat, akhirnya hadir Buku NKB Edisi Akord cetakan ke-2 karya Rumah MUGER Kupang. Pada cetakan ke-1 (pertama), NKB Edisi Akord yang rampung penyusunannya pada tahun 2013 silam ini hanya digunakan secara pribadi sambil terus dilakukan uji coba terhadap penerapan harmoni akord yang telah dibuat.
Cover Depan NKB Edisi Akord

Sambil berjalan, proses editing-pun terus dilakukan demi menghasilkan penerapan permainan musik yang tidak terlalu rumit dan juga penyempurnaan harmoni-harmoni akord yang indah dan teratur dan sekiranya lebih masuk akal. Perubahan-perubahan akhirnya harus dilakukan untuk sebagian besar lagu, dan kini telah rampung dan siap dipergunakan baik oleh saya secara pribadi maupun oleh sahabat-sahabat saya sesama pemain musik gereja yang membutuhkan.

Sejak cetakan pertama dibuat dan dipublikasikan di Blog RUMAH MUGER, antusiasme teman-teman pemain musik gereja di hampir seluruh pelosok negeri ini sangat tinggi dalam merespon kehadiran buku NKB Edisi Akord ini. Banyak surat elektronik (surel/email) yang masuk yang intinya ingin mendapatkan dan/atau membeli buku ini berapapun harganya. Maklum, karena memang belum ada buku NKB Edisi Akord yang dibuat (baik oleh Yamuger maupun Sinode Am GKI selaku pemegang hak cipta buku nyanyian NKB) dan dijual di toko-toko buku rohani selain Kidung Jemaat dan Pelengkap Kidung Jemaat dalam edisi akord karya Yamuger, dan buku-buku nyanyian rohani lainnya.

Namun, dengan sangat terpaksa, buku NKB Edisi Akord cetakan ke-1 ini hanya bisa dipakai oleh saya sendiri dan belum bisa digunakan untuk kalangan lain, karena masih terkendala dengan beberapa hal, yakni:
  1. Saya belum merasa yakin seratus persen hasil kerja NKB Edisi Akord ini sudah layak digunakan oleh kalangan lain. Masih perlu adanya perbaikan/koreksi di sana-sini baik yang bersifat teknis maupun non teknis.
  2. Dan, ternyata hasil kerja yang dirasa sudah tuntas ini menjalani proses editing yang cukup lama di sela-sela kesibukan rutin yang menumpuk. Syukur, bahwa kesalahan dalam hal teknis pengetikan hampir tidak terjadi, tapi penggunaan harmoni akord di setiap lagu yang perlu mendapat perhatian yang lebih serius.
  3. Pada saat selesai merampungkan NKB Edisi Akord, yang ada dalam pikiran saya adalah hasil kerja ini dicetak (print), difotokopi, dan kemudian dijilid menjadi buku sama seperti KJ dan PKJ Edisi Akord. Setelah melalui sedikit kalkulasi (hitung-kali-bagi), ternyata, setelah dibuat menjadi sebuah buku, biaya print plus jilidnya sama dengan sangat mahal dibanding dengan harga jual KJ dan PKJ Edisi Akord di toko-toko buku.
  4. Pada satu postingan sebelumnya dalam rangka mempromosikan hasil kerja NKB Edisi Akord ini di blog RUMAH MUGER [baca: Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB) Edisi Akord], saya mengatakan bahwa saya pernah menawarkan hasil kerja ini kepada Yamuger, tapi ternyata Yamuger bukanlah pemilik hak cipta dari himpunan lagu NKB. Oleh Yamuger saya disarankan untuk melakukan kontak agar mungkin saja bisa bekerjasama dengan pihak Sinode Am GKI selaku pemegang hak cipta. Namun, hingga saat inipun saya belum mendapat respon balik. Hal ini juga yang menjadi salah satu kendala serius bagi saya untuk menyebarluaskan hasil kerja ini, karena masih mempertimbangkan tentang apakah saya akan dianggap melakukan pelanggaran hak cipta.
Buku NKB Edisi Akord (ukuran 21x15cm)

Kendala nomor 1-3 saat ini, menurut hemat saya, sudah teratasi dengan baik. Khususnya kendala pada nomor 1 dan 2 dijamin seratus persen telah lolos sensor karena memang telah melewati proses editing yang memakan waktu cukup panjang dan lama. Dan puji syukur, seluruh proses perbaikan akhirnya rampung pada 24 November 2015 lalu. Tapi sebagai manusia yang tidak sempurna, saya juga tidak memungkiri bila saja masih ada kesalahan-kesalahan yang luput dari pantauan saya.

Kendala nomor 3 akhirnya bisa juga teratasi dengan munculnya ide awal pembuatan Ebook (Elektronic Book) dalam file PDF (Portable Document Format). File PDF dapat dibaca dengan mudah di komputer, laptop, notebook dan bahkan bisa disimpan dan dibaca di perangkat android. Secara pribadi, saat ini saya menggunakan NKB Edisi Akord ini dalam dua jenis, yakni: Buku NKB Edisi Akord dan Ebook NKB Edisi Akord yang disimpan di Laptop dan perangkat Android. Namun, ide awal tersebut terpaksa diurungkan/dibatalkan demi meminimalisir sejak dini penyalahgunaan hasil kerja yang sudah saya buat dengan susah-payah ini (lagi-lagi, masih ada kaitannya dengan hak cipta khususnya hak cipta NKB Edisi Akord). Jadi, walaupun biayanya terbilang mahal (tapi “tidak mahal-mahal amatlah!”), saya tetap membuatnya dalam bentuk buku (di-print bukan di-photoocopy) untuk dipersembahkan kepada sahabat-sahabat pemain musik yang membutuhkan.  

Dan, kendala nomor 4 sebenarnya bukan lagi menjadi kendala bagi saya, tapi tetap masih mengusik hati dan pikiran saya. Mengapa demikian? Sebenarnya maksud hati yang terdalam adalah kerinduan untuk, kalau boleh, bisa mencetak dan menerbitkan NKB Edisi Akord ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yamuger pada buku Kidung Jemaat Edisi Akord dan Pelengkap Kidung Jemaat Edisi Akord. Tapi karena beberapa faktor, biarlah kerinduan itu tetap menggantung di atas langit supaya genaplah perkataan para orang tua: “gantungkanlah cita-citamu setinggi langit!” (episode curahan hati…hehe)

Melalui postingan ini, saya ingin memberitahukan secara terbuka kepada semua pihak, khususnya Sinode Am GKI selaku pemegang hak cipta, bahwa saya telah menyelesaikan penyusunan buku nyanyian Nyanyikanlah Kidung Baru Edisi Akord dan siap dipergunakan oleh saya sendiri maupun sahabat-sahabat saya (sesama pemain musik gereja) untuk tujuan pelayanan. Perlu dicatat di sini bahwa walaupun kerinduan hati saya sebagaimana yang terungkap dalam episode curahan hati di atas begitu besar, tapi saya sedikitpun tidak berencana untuk menjual Buku NKB Edisi Akord ini secara bebas. Buku NKB Edisi Akord ini akan dicetak terbatas dan hanya dipakai oleh kalangan terbatas.

Semoga kehadiran buku NKB Edisi Akord ini bisa bermanfaat bagi kita semua (pemain musik gereja) untuk menunjang pelayanan di bidang musik dan puji-pujian gerejawi. Kritik dan saran yang konstruktif sangat dibutuhkan demi penyempurnaan isi buku di masa-masa yang akan datang. 

Saturday, March 28, 2015

Mengenal Penulisan Notasi Angka Dalam Birama 6/8 [dengan Bendera pada Not Tunggal]


Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH MUGER KUPANG
Lagu DSL 108 (Gambar: Koleksi Pribadi)

Pada beberapa tahun silam saya pernah disodorkan teks lagu dalam notasi angka yang benar benar sangat membingungkan. Lagu tersebut adalah lagu yang terambil dari himpunan nyanyian Dua Sahabat Lama (DSL) No 108 “PERSEMBAHAN DIRI”, salah satu lagu yang terdapat di dalam Liturgy Kebaktian Minggu Pra Paskah (Minggu Sengsara). Lagu tersebut adalah lagu yang akan dinyanyikan oleh para peserta Katekisasi pada prosesi Peneguhan dan Pemberkatan sebagai anggota Sidi Baru.

Saya katakan sangat membingungkan karena penulisan simbol-simbol notasi tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah saya pelajari dan pahami sebelumnya tentang membaca dan memainkan notasi angka. Bahkan apa yang muncul dalam pikiran saya saat itu adalah bahwa penulisan simbol notasi yang membingungkan itu mungkin saja “salah”. Tetapi apakah memang mungkin penulisan simbol-simbol tersebut “salah”(?), sedangkan lagu yang disodorkan adalah teks fotocopy yang berasal dari sumber asli, DSL (Lihat gambar di atas!).

Mungkin untuk sebagian kalangan pemain musik hal ini tidak membingungkan, tapi bagi saya yang pada saat itu baru mulai menekuni (mempelajari) not angka dan lagu/musik gereja benar-benar merasa kewalahan alias tidak bisa memainkannya samasekali. Mungkin pula, jika ada pemain musik yang telah mengetahui lagu tersebut (bisa menyanyikan) tidak akan mengalami kesulitan seperti yang saya hadapi saat itu, karena tidak perlu lagi bersusah payah membaca simbol-simbol notasi yang “salah” itu.

Dalam not angka, biasanya, terdapat birama yang terdiri dari sejumlah ketukan: lagu dengan birama 1 ketuk, 2 ketuk, 3 ketuk, 4 ketuk, 5 (3+2) ketuk, 6 ketuk, 6 (3x2) ketuk, 9 (3x3) ketuk, dll. Setiap not atau simbol seperti titik (.) atau nol (0) yang berdiri sendiri adalah Not 1/4 dengan harga 1 (satu) ketukan. Not yang mendapat satu bendera adalah Not 1/8 dengan harga 1/2 ketukan, dua bendera adalah Not 1/16 dengan harga 1/4 ketukan. Sejauh ini saya belum menemukan (mungkin ada) not dengan tiga bendera di dalam lagu-lagu not angka; jika ada maka not tersebut adalah Not 1/32 dengan harga 1/8 ketukan (Lihat Gambar!).
Not & Harga Not (Gambar: Koleksi Pribadi)

Kebanyakan lagu-lagu dalam Not Angka, bendera (garis di atas not) yang menentukan harga notasi tidak digunakan pada satu not yang berdiri sendiri atau not tunggal. Biasanya bendera (satu, dua atau tiga bendera), sejauh pengamatan saya, menghubungkan satu not dengan not yang lainnya. Dalam lagu di atas, bendera dipasang pada not tunggal yang sangat menyulitkan saya untuk menemukan cara yang tepat untuk membaca/menyanyikan dan memainkannya dengan musik. “Mungkinkah ada kesalahan?” Seperti yang sudah saya katakan di atas, tidak mungkin penulisan simbol bendera pada not tunggal tersebut “salah”, karena memang teks aslinya sudah seperti itu.

“Tetapi bagaimana membacanya atau menyanyikannya atau memainkannya?”

Saya mencoba mencermati kembali satu per satu yang tertulis di dalam teks lagu tersebut mulai dari Judul Lagu, Nada Dasar, Birama dan Isi Lagu dari awal hingga akhir. Masalah baru pun muncul ketika saya menemukan birama lagu yang ditulis adalah birama 6/8. “Kok bisa biramanya 6/8?” Padahal kalau mau dihitung-hitung, berdasarkan pemahaman saya, jumlah dan harga not yang ada di setiap birama di dalam lagu tersebut tidaklah sesuai. 6/8 artinya ada 6 not 1/8 yang menjadi patokan tempo.

Jika kita menghitung berdasarkan penulisan pada lagu di atas, not 1/8 berjumlah rata-rata hanya 2 not (bukan 6) di setiap biramanya. Bahkan secara kasat mata, saya menghitungnya hanya terdapat 3 ketukan di setiap biramanya. Pada birama pertama, misalnya, not 1/4 yang berharga 1 ketukan (tanpa bendera) hanya terdapat 2 not, dan not 1/8 yang berharga 1/2 (atau yang mendapat satu bendera) juga hanya ada 2 not. Berarti 1 + 1 + ½  + ½ = 3, atau secara berturutan bisa dihitung sebagai berikut: 1 + ½ + 1 + ½ = 3. “Lantas kenapa 6/8?” Lagi-lagi pertanyaan itu yang muncul (Lihat Gambar: tulisan berwarna Hitam!).
Birama (Gambar: Koleksi Pribadi)

Segala upaya saya kerahkan untuk mengungkap rahasia di balik birama yang bertuliskan angka 6/8. Dari segi makna 6/8 yang sudah saya sebutkan di atas, sudah jelas tidak bisa membuat saya sampai pada sebuah kesimpulan yang tepat tentang cara membaca/menyanyikan/memainkan notasi lagu ini. Fakta dan data pada teks lagu telah membuktikan tidak terdapat unsur 6 dan 8-nya samasekali.

“Apakah 6/8 itu? Mengapa harus 6/8?” Sambil terus bertanya dalam hati, tiba-tiba muncul sebuah titik terang yang menjuruskan saya pada sebuah kesimpulan sementara yang mungkin saja akan menjadi kunci jawabannya. Saya teringat angka 6/8 juga ada pada jenis irama musik (style musik) yakni irama/style Slow Rock 6/8. Irama Slow Rock adalah irama 4 ketukan dengan 6 not 1/8 menjadi patokan tempo. Karena terdapat 4 ketukan dalam setiap biramanya maka 6 not 1/8 tersebut dikali 2 lagi (6x2) sehingga menjadi 12 not 1/8 di tiap birama. Atau, dengan kata lain, dalam 4 ketukan, terdapat 3 not 1/8 di setiap ketukannya; 4x3=12 (4 ketuk dikali 3 not 1/8 sama denga 12 not 1/8).

Berikut ini adalah cara membaca/menyanyikan/memainkan lagu DSL 108 dengan penulisan simbol notasi yang lain tanpa merubah komposisi lagu:   
Hasil Kerja Cara memebaca Notasi dengan birama 6/8 (Gambar: Koleksi Pribadi)

Hingga pada titik ini, tersingkaplah segala rahasia di balik angka 6/8 yang sempat membingungkan dan melelahkan karena telah begitu banyak menguras energi rasa dan energi pikir. Walaupun sempat “letih”, penyingkapan kode 6/8 ini kembali memberi energi dan spirit baru yang menyegarkan hati dan pikiran saya untuk terus menyingkap dan mengungkap segala tabir kegelapan yang masih penuh tanda tanya.

Tulisan ini merupakan catatan pribadi saya untuk mendokumentasikan hasil kerja saya secara mandiri dalam mengupayakan agar sedapat mungkin memahami (membaca/menyanyikan/memainkan) simbol notasi angka yang ada. Cara penulisan simbol notasi seperti yang terdapat pada teks DSL tersebut, menurut hemat saya, sudah jarang ditemukan/dipakai dalam pembuatan arransemen lagu dengan notasi angka dewasa ini. Saya lebih cenderung mengatakan bahwa cara penulisan simbol pada lagu DSL tersebut adalah penulisan “gaya lama” yang sudah tidak dipakai lagi saat ini(?).

Di samping itu, tulisan inipun menjadi pelajaran yang mengingatkan diri saya sendiri agar ketika menemui arransemen lagu-lagu lain yang masih menggunakan cara penulisan simbol yang serupa, maka cara membacanya/menyanyikannya/memainkannya mengikuti pola yang ada. Upaya dan hasil kerja ini tentu masih jauh dari kesempurnaan oleh karena keterbatasan referensi yang saya miliki. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat diperlukan untuk memberi pencerahan kepada kita semua.

Semoga tulisan ini juga dapat menginspirasi dan memberi manfaat bagi sahabat-sahabat pemain musik gereja yang lain yang mungkin saja mengalami hal yang sama seperti yang saya alami sebelumnya. Shallom!

Wednesday, January 21, 2015

Bingung Dengan Musik Gereja GMIT(??!!)


Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH MUGER Kupang

Pada tanggal 6 Januari 2015 lalu Fanpage Facebook RumahMuger Kupang dimana saya sendiri yang menjadi administratornya mendapat pertanyaan dari bapak El Po, seorang pemain musik gereja GMIT asal Bajawa yang melayani di GMIT Ebenhaezer Bajawa.  Pertanyaan tersebut menurut saya adalah pertanyaan yang sangat menarik, karena merupakan sebuah pertanyaan yang memperlihakan masalah serius yang sudah dan sedang (atau mungkin akan) terjadi pada musik pengiring liturgy. Kiranya apa disebut sebagai masalah dalam musik pengiring liturgy ini bisa menjadi perhatian pihak-pihak terkait khususnya di Sinode GMIT.

Terus terang, pertanyaan yang diajukan oleh pak El Po tersebut sebenarnya merupakan cermin kebingunan dari sebagian dan/atau kebanyakan (termasuk saya) pemain musik gereja di GMIT yang peduli dengan praktek musik pengiring gerejawi  khususnya pada saat Kebaktian Utama Minggu. Disebut sebagai cermin kebingungan karena jika kita melihat kenyataan/praktek musik pengiring liturgy di gereja-gereja yang bernaung dalam GMIT saat ini sangatlah beragam dan bervariasi (“Berbeda-beda dan tidak satu”), dan bahkan keberagaman tersebut cenderung menghilangkan jati diri, jiwa dan spirit yang terkandung dalam setiap lagu-lagu yang ada (saya lebih cenderung mengatakannya sebagai: “Membunuh jiwa dan spirit kekristenan kita”).

Berikut ini adalah catatan pertanyaan dari bapak El Po yang mampir di page RUMAH MUGER, dan jawaban/tanggapan yang saya berikan sebagai tuan rumah (administrator) Page RUMAH MUGER. Catatan: Berhubung pertanyaan dan jawaban menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari, maka pertanyaan dan jawaban tersebut telah melalui proses pengeditan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). (Klik untukmelihat tanya-jawab di Page RUMAHMUGER!)

Pertanyaan (El Po):

Shalom, om! Saya di Bajawa. Saya mau tanya, kalau musik yang cocok untuk mengiringi liturgia KUM (Kebaktian Utama Minggu) itu apa, ya? Saya bingung dengan musik gereja GMIT karena ada yang menggunakan style ada yang menggunakan string. Mana yang benar ni? Mohon jawabanya.

Jawaban (Rumah Muger):

Syalom, om! Sebenarnya sulit juga untuk mengatakan mana yang benar; "dengan atau tanpa style(?)", sepanjang kita tidak merubah harga notasi dari lagu yang dimainkan. Perlu diingat, kecenderungan menggunakan style musik bisa merubah lagu-lagu yang ada menjadi serba pop atau serba dangdut atau serba rock'n roll, dll, padahal lagu-lagu kita adalah lagu/musik bergenre klasik, dan masuk dalam kategori hymn dan anthem, jadi seharusnya dibawakan/dinyanyikan dengan penuh hikmat.

Penggunaan style musik dalam hal ini harus hati-hati. Kalau saya pribadi, pada saat KUM (Kebaktian Utama Minggu), saya lebih senang bermain tanpa style musik, saya biasa menggabungkan suara piano dan string dan/atau piano dan orgen (pipe orgen). Tetapi untuk kebaktian di luar KUM (syukuran, dll) saya biasa bermain dengan style supaya terkesan lebih santai, tapi tetap bermain dengan ketukan/harga notasi yangg seharusnya.

Jadi memang kalau kita ingin bermain dengan style, maka kita harus menggunakan style yang tepat, karena saat KUM tidak sama dengan saat pementasan/konser. Tapi saya lebih menyarankan, kalau boleh saat bermain di KUM sebaiknya tanpa menggunakan style. Banyak pemain musik gereja yang salah kaprah dalam hal ini. Maaf, om, saya terlalu banyak tulis, bukan brmaksud untuk menggurui. Saya juga adalah pemain musik gereja yang masih terus dan terus belajar dari berbagai sumber/referensi. Yang penting kita berusaha untuk tetap mempertahankan ciri khas dari lagu-lagu kita. Apalagi lagu-lau kita memang sangat berbobot dari segi musikalitasnya. Terima kasih! Gbu!

Balasan (El Po):

Terima kasih banyak, om, atas infonya! Saya sudah 16 tahun iring KUM, dll di gereja GMIT Ebenhaezer Bajawa. Saya selalu menjaga permainan menggunakan string dan di-combine dengan piano. Hanya memang sering mendapat sorotan dari jemaat bahwa musik kita tidak seperti di gereja GMIT yang lain. Saya pernah mendapat bimbingan dari UPTD Kesenian Daerah NTT, pada masa Pak Jony Thedenz. Kami bergabung dengan teman-teman dari Katolik dan waktu itu yang membina kami termasuk Pak Ronald dari Pusat Musik Liturgi Jogjakarta dan Pak Johny Riwu Tadu dari GMIT.

Sungguh luar biasa pengalaman itu sehingga saya tetap mempertahankan pengiringan musik seperti itu. Sayangnya bahwa ketika bulan lalu saya ke Kupang dan keliling beberapa gereja GMIT mengikuti KUM tapi musik liturgia yang mereka tampilkan seperti pop dan pada akhirnya napas dari lagu apalagi notasi dan harga lagu selalu diabaikan. Misalnya pada lagu PKJ Nomor 43: Tuhan Kami Berlumuran Darah, mereka mainkan dengan style sehingga menghilangkan napas lagu yang sesungguhnya dinyanyikan dengan penuh pengakuan dan permohonan namun dinyanyikan secara pop. Sungguh saya sesalkan ini.

Tapi sayangnya, Sinode GMIT mungkin belum merasa terusik dengan hal ini. Harusnya semua Ketua Majelis Klasis (KMK) dikumpulkan dan diberikan pemahaman yang sama dalam rangka pembinaan musik gerejawi di setiap aras jemaat. Selanjutnya pembinaan dari KMK kepada para pendeta dan terus kepada para organis gereja, sehingga seragamkan warna musik gerejawi GMIT. Saya merasakan sesuatu keindahan harmonisasi ketika mengikuti ibadah di gereja Katolik. Mereka sangat konsisten dengan musik liturgi, semuanya seragam. Kenapa kita tidak bisa memulai untuk itu?

Saya kuatir suatu saat, liturgia gereja kita seperti acara di Diskotik atau Pub atau Karaoke. Padahal kita juga sudah punya STAKN Kupang yang memiliki jurusan Khusus Musik Gerejawi. Peranan STAKN juga penting untuk pembaharuan dan revolusi musik gerejawi GMIT khususnya. Sekali lagi, saya merasa terbantu dengan posting Bapak pada bagian ini. Semoga Tuhan memberkati kita dalam tugas dan pelayanan ini. Salam dan hormat, dari saya, Elpo.

Balasan (Rumah Muger):

Saya setuju dengan pendapat om Elpo. Saya memang baru mulai belajar musik gerejawi terutama mengiringi pujian liturgi/gerejawi pada tahun 2005. Dan saya sangat menikmati jenis lagu yang ada di GMIT. Mudah-mudahan kalau Tuhan berkenan kita bisa bertemu. O ya, kalau sekali-kali datang ke Kupang, om Elpo bisa ikut kebaktian di gereja saya: GMIT Jemaat Gunung Sinai Naikolan.

Bisa gabung di:

  1. Fb: Gmit Jemaat Gsn,
  2. Group Fb: JGSN GROUP,
  3. Page: JGSN Fanspage, &
  4. Blog: http://gmitgsn.blogspot.com). Shalom! Gbu!


[Segera hadir: artikel-artikel tentang musik & pemain gerejawi di RUMAH MUGER Kupang]