Surat Cinta Untuk Sahabat-Sahabat GMIT-ku

SOS: 'Selamatkan Jiwa dan Spirit Kekristenan' kita melalui puji-pujian (Label: Surat Cinta).

Memainkan Lagu-Lagu dalam Edisi Akord

Pemain musik gereja dituntut untuk terus berlatih dan berlatih (Label: Panduan Musik).

Kumpulan Arransemen Lagu untuk Koor Musik

Kumpulan Arransemen Lagu untuk Koor Musik oleh Pietro T. M. Netti.

Praktek Puji-Pujian Jemaat: Antara Adat dan Tradisi

Praktek Puji-Pujian Jemaat: Antara Adat dan Tradisi (Label: Pujian Jemaat).

Spirit Musik Pengiring dan Puji-Pujian Jemaat

Spirit Musik Pengiring dan Puji-Pujian Jemaat (Label: Musik Pengiring).

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Monday, April 28, 2014

OKB (9): “Gangguan Bukan Pada Pesawat Televisi Anda..!”


Sudah saatnya kita, orang Kristen--warga GMIT, harus sadar dan bangkit untuk membenahi kondisi puji-pujian yang sungguh tertinggal sejak sekian lamanya. Sepertinya, kesalahan atau gangguan bukan terjadi pada mampu atau tidak mampu nya kita, melainkan terjadi pada otak (baca: pola pikir) kita tentang puji-pujian/bernyanyi.

Pola pikir kita yang salah telah menghambat langkah kita selama ini untuk tertarik dan apalagi jatuh cinta dengan puji-pujian dan bernyanyi. Pola pikir kita yang salah pula yang telah memberi andil kepada kita untuk tidak memperhatikan cara/praktek bernyanyi yang baik dan benar.

Padahal puji-pujian dan bernyanyi adalah salah satu faktor penting, wajib dan mutlak bagi orang Kristen dalam beribadat kepada ALLAH; sebagai wujud dari ungkapan pujian kita kepada ALLAH, respon dan tanggapan kita akan kehadiran dan kemuliaan ALLAH.

Di samping itu, puji-pujian/bernyanyi juga merupakan satu hal unik yang membedakan kita (orang Kristen) dengan orang-orang di luar Kristen dalam peribadatan. Dengan demikian, sebagai orang Kristen, kita seharusnya dengan penuh sukacita sadar, mau belajar dan terus meningkatkan kompetensi kita dalam hal bernyanyi: bukan sebuah keharusan yang terpaksa dan/atau keterpaksaan yang harus.

Kompetensi yang dimaksud adalah mampu/bisa bernyanyi (menguasai perkataan dan ragam lagu) setidak-tidaknya bisa mengikuti petunjuk dan/atau simbol notasi dengan baik dan benar dan bisa dipertanggungjawabkan dari segi seni musik dan/atau suara.

Bahkan lebih dari itu, kita pun wajib/perlu mengasah dan melatih diri dalam hal penguasaan akan teknik dasar olah vokal yang memadai untuk menunjang aktifitas bernyanyi kita, dan melakukannya dengan penuh kesungguhan dengan turut melibatkan unsur-unsur penghayatan dan ekspresi.

“Bukankah orang Kristen harus terus bernyanyi, bernyanyi, dan bernyanyi?”

 “Ya, orang Kristen harus bisa bernyanyi! Orang Kristen pun harus pandai bernyanyi!”

Semoga TUHAN menolong kita! (Selesai)

Tuesday, April 15, 2014

OKB (8): “Lagi-Lagi Tradisi Yang Bicara”


Ketiga; Belajar, belajar dan belajar; bahwa kita sebenarnya belum bisa bernyanyi dengan baik dan benar sesuai dengan aturan bernyanyi dan rambu-rambu notasi yang semestinya. Kecenderungan menganggap remeh lagu-lagu yang dianggap lama dan gampang membuat kita tetap terbelenggu dalam kebiasaan/tradisi bernyanyi yang salah dari masa ke masa. (Lihat: Pertama dan Kedua)

Apalagi sistem pembelajarannya pun tidak dapat dipertanggungjawabkan; sistem ahli waris (waris-mewarisi) yakni generasi sekarang mewarisi dan/atau bahkan ‘kodo anteru’ (menerima/menelan ‘bulat-bulat’) cara bernyanyi generasi sebelumnya, tanpa mempelajari lebih jauh salah-benarnya dan/atau membandingkan dengan petunjuk/simbol notasi yang sebenarnya dari sumber/referensi asli.

“Hat-hati…ceke leher…oo..!”

Ada sebuah pengalaman menarik yang pernah saya alami. Saya pernah mengiringi pemandu pujian yang nota bene juga anggota senior paduan suara (PS) dari sebuah PS terbaik gereja. Dari latar belakangnya tersebut, saya sama sekali tidak pantas untuk meragukan tingkat penguasaan notasinya.

“Namun apa yang terjadi, sodara-sodara…?”

Saat menyanyikan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat, sang pemimpin pujian bernyanyi seenak perut-nya tanpa menghiraukan tanda baca notasi yang tertera yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

“Loh, om.., tanta..,nyanyinya  kok begitu…?”

Ya, sebuah gambaran yang sangat bertolak belakang antara menyanyikan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat dan lagu-lagu PS. Lagu/puji-pujian liturgi/jemaat dibawakan tidak seindah lagu-lagu PS dalam arti tidak mengikuti petunjuk dan simbol notasi yang ada. Ternyata dari bincang-bincang, baru diketahui bahwa di saat menyanyikan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat, ‘sang penyanyi’ tidak lagi memperhatikan tanda baca notasi yang ada.

“Sekali lagi sodara-sodara, tradisi yang bicara!”

Sang pemandu pujian bernyanyi sesuai dengan kebiasaan yang ia dengar secara turun-temurun. Ia juga mengakui bahwa kebanyakan lagu/puji-pujian liturgi dan Kidung Jemaat yang dinyanyikan tidak dipelajarinya lagi, karena kebanyakan lagu-lagunya telah diketahui pula sejak dahulu.

“Ooh…itu masalahnya…! Pantas…! Makanya belajar…!”   

(Bersambung)

Sunday, April 13, 2014

O Betlehem

Yusuf & Maria (Diperankan oleh Murid PAUD GSN)

“O Betlehem” adalah lirik lagu yang diciptakan oleh Alm. Bpk. Fecky Sjion dengan mengambil ragam lagu “You Raise Me Up”.

Lagu ini diarransemen ulang oleh saya pada tanggal 22 Desember 2013. Arransemen lagu baik penulisan notasi maupun penempatan akord disesuaikan dengan ragam lagu “You Raise Me Up” yang dinyanyikan oleh Josh Groban (tidak disertai dengan akord modulasi), dan didedikasikan kepada GSN Music Choir (Koor Musik GSN) dimana saya juga terlibat sebagai pemain musiknya. 

Semula lagu ini rencananya dinyanyikan juga oleh GSN Music Choir, tapi karena berbagai kesibukan anggota menjelang Natal dan terlalu singkatnya waktu untuk persiapan maka lagu ini tidak jadi dinyanyikan oleh GSN Music Choir.

Namun karena antusiasme yang tinggi dari beberapa ibu yang juga tergabung di dalam GSN Music Choir, maka akhirnya lagu ini dinyanyikan oleh ibu-ibu (GSN Female Voice) pada saat Kebaktian Natal II tanggal 26 Desember 2013. Lagu ini dinyanyikan dengan sangat indah.

Saturday, April 12, 2014

OKB (7): “Identitas/Citra Yang Menjadi Rahasia Umum”


Lantas jika orang Kristen tidak bisa bernyanyi, bukankah kita adalah pembangkang-pembangkang ulung yang melawan sistem peribadatan kita dan sekaligus menentang FIRMAN TUHAN? Dengan cara apakah kita melakukan puji-pujian kepada ALLAH yang memang layak mendapat puji-pujian tersebut? Dengan cara apakah kita, manusia berdosa ini, mengucap syukur dan berterima kasih kepada ALLAH? Dengan cara apa pula kita menanggapi dan merespon kehadiran dan/atau kemuliaan ALLAH? Dan bukankah ALLAH bertahta di atas puji-pujian?

Kedua; Menyadari ketidakmampuan kita dalam hal ‘bernyanyi’; bahwa sejak sekian lama kita sebenarnya tidak bisa ‘bernyanyi’ dengan baik dan benar. (Lihat: Pertama)

“Minta maaf untuk yang merasa bisa bernyanyi…Kalau bisa, buktikan…!”

Sebenarnya maksud saya adalah: kita (warga GMIT) telah mengesampingkan aturan-aturan bernyanyi yang sebenarnya dengan mengabaikan petunjuk dan simbol notasi yang nota bene adalah urat nadi dari sebuah puji-pujian (baca: lagu); menerapkan tempo nyanyian yang tidak tepat, dan cenderung tidak mematuhi tanda birama (ketukan) dan nilai nada yang ada, serta mengabaikan hal-hal yang berhubungan penghayatan, ekspresi, dan unsur-unsur teknis lainnya.

Hal-hal yang disebutkan inilah yang menyebabkan rendahnya kualitas puji-pujian kita dibandingkan dengan puji-pujian dari denominasi lain, dan bahkan dengan lagu-lagu sekuler sekali pun. Dan itu akibat dari perbuatan kita sendiri.

“Warga GMIT-ku, tolong ko pikir-pikir… dan lebe bae sadar…!”

Cara bernyanyi kita yang salah sejak lama telah menjadi sebuah identitas yang melekat (dan dilekatkan) pada diri gereja/warga GMIT. Malah sudah menjadi rahasia umum, kalau dalam hal bernyanyi, GMIT identik dengan hela-tarek (bernyanyi dengan tempo amat-sangat-terlalu lambat), mati-angin (bernyanyi dengan loyo dan tidak bersemangat), jato-mat (bernyanyi dengan tidak memperhatikan ketukan), dan mati-gaya (bernyanyi dengan asal-asalan tanpa penghayatan dan ekspresi).

Sebenarnya masih banyak lagi cap yang, menurut hemat saya, sangat mencoreng wajah kita (GMIT) dalam hal melakukan puji-pujian/bernyanyi. Kita harus peka, berusaha dan berjuang untuk memperbaiki diri dan secepatnya keluar dari kondisi ini serta melepaskan citra negatif yang dikenakan kepada kita selama ini. Kalau kita mau jujur, kita, dengan semena-mena dan tanpa rasa bersalah telah membunuh jiwa dan spirit puji-pujian kita dari masa ke masa.

“Aduuhh, kasian…e…!”

(Bersambung)                                                          

Friday, April 11, 2014

OKB (6): “Bernyanyi Adalah Perintah Agama Kristen”


Masih berkenaan dengan sanjungan yang dikemukakan oleh teman saya di atas (bahwa orang Kristen pandai bernyanyi), seharusnya kita malu, mulai kembali bercermin, dan secepat mungkin mulai berbenah diri.

Sanjungan tersebut sedianya dijadikan sebagai cambuk untuk memacu semangat kita mengejar ketertinggalan kita di dalam hal puji-pujian dan/atau bernyanyi. Kita harus mampu menjawab kesimpulan orang-orang di luar sana bahwa orang Kristen bisa dan pandai bernyanyi. Kita harus bisa membuktikan diri kita bahwa kemampuan kita dalam hal bernyanyi harus melebihi orang-orang di luar Kristen yang mana bernyanyi bukanlah perintah agama mereka.

“Caranya…?”

Pertama; Merubah pola pikir kita; bahwa bernyanyi adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh orang Kristen (baca: warga GMIT) sebagai wujud ungkapan dan puji-pujian kepada ALLAH. Melihat bahwa puji-pujian mendominasi di dalam liturgi kebaktian kita, maka sepatutnya bernyanyi diterima/diakui sebagai salah satu perintah agama yang harus dijalankan oleh umat Kristen sendiri. Sebuah perintah yang pada kenyataannya harus/wajib/mutlak dilakukan oleh kita di setiap kesempatan beribadah kepada ALLAH.

“Aktifitas apakah yang membedakan kita sebagai orang Kristen dengan orang lain di luar Kristen dalam hal melakukan upacara keagamaan atau sembahyang atau kebaktian?”

Ada kelompok agama tertentu yang diperintahkan/diwajibkan oleh agamanya untuk melakukan ritual dengan cara tertentu dalam setiap peribadatan mereka; menari, bersyair, dan lain sebagainya. Untuk kita (orang Kristen atau warga GMIT), cara tertentu yang dimaksud di sini tidak lain dan tidak bukan adalah bernyanyi atau biasa disebut melakukan puji-pujian atau memuji TUHAN.

Sebenarnya pola pikir seperti ini harus ditumbuh-kembangkan di dalam alam pikir setiap orang Kristen. Jika tidak, maka faktor ini pula yang akan menjadi penghambat utama bagi kita, orang Kristen--warga GMIT, tidak bisa bernyanyi.

“Kaarrrnnaa…?”

Karena bernyanyi bukanlah sebuah faktor yang penting, sehingga kita tidak perlu merasa terbebani untuk mempelajari dan menguasainya. Malah di sebagian besar kalangan generasi muda, jangankan diajak untuk latihan bernyanyi, ketika berbicara saja tentang lagu/puji-pujian liturgi/jemaat, serta-merta mereka mengatakan:

“Cape….deeehh!”

(Bersambung)

Monday, April 7, 2014

OKB (5): “Mulut Sonde Jaga Badan”

Mulutmu Harimaumu

Di sisi lain, kebanyakan kita tidak mau menerima kenyataan kalau keadaan kita dalam hal bernyanyi memang seperti yang disebutkan di atas. Kita dengan sangat pe-de (percaya diri)-nya mengaku kalau kita lah yang paling mampu dalam hal bernyanyi. Sampai-sampai ada yang berani mengaku kalau sebagian besar atau semua lagu di dalam himpunan Kidung Jemaat (bahkan Pelengkap Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Kidung Baru) 100% dikuasainya atau bisa dinyanyikannya (seratus persen..?).

“Lagu Kidung Jemaat…? Aah…gampuuaanng…! Lagu lamuaa…! Sebut saja lagu nomor berapa dan saya langsung bisa menyanyikannya!” demikian ungkapan-ungkapan yang sering keluar dari mulut-mulut yang tidak bertanggung jawab.

“Kek jago-jago sa…!”

Bagaimana kita bisa menyebutnya sebagai bertanggung jawab, kalau lagu-lagu yang dibilang gampang dan lama itu dinyanyikan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur seni dan teknis bernyanyi yang baik dan benar. Bagaimana kita bisa menyebutnya sebagai bertanggung jawab, kalau kita selalu mengabaikan petunjuk/simbol notasi (tempo, birama, dan simbol-simbol teknis lain) dari lagu-lagu yang dibilang gampang dan lama tersebut?

“Mulut sonde jaga badan…!”

Ternyata ungkapan lagu gampang dan lagu lama bagi kita adalah hanya sebatas sudah sering mendengar dan/atau mungkin sudah bisa menghafal perkataan dari lagu-lagu dimaksud.

Ungkapan lagu gampang dan lagu lama muncul hanya karena lagu-lagunya memang sudah dipakai turun-temurun sejak dahulu hingga sekarang, sehingga kita cenderung menganggap remeh lagu-lagu tersebut.

Ungkapan lagu gampang dan lagu lama ternyata adalah wujud dari sikap dan perilaku kita yang suka menggampangkan lagu-lagu yang sebenarnya tidak gampang untuk dinyanyikan tanpa disertai upaya dan penerapan bernyanyi yang baik dan benar sesuai dengan aturan dan prinsip dasar dari seni bernyanyi dan bermusik yang sesungguhnya.

Ungkapan lagu gampang dan lagu lama bagi kita ternyata tidak berarti mengetahui dan menguasai secara baik dan benar semua petunjuk dan simbol notasi, dan menyanyikannya sesuai dengan aturannya (ragam lagu).

Lagi-lagi ungkapan lagu gampang dan lagu lama sedikit pun tidak menunjukkan suatu aktifitas bernyanyi yang sungguh-sungguh sehingga bisa menghadirkan suatu penghayatan dan ekspresi yang memadai.  

“Hah…, aneh juga ee…? Begitu kok bilang gampang..!”  

Friday, April 4, 2014

OKB (4): “Domba-Domba Berkeliaran Sendiri”


Ini jelas sekali terlihat dari tingkat penguasaan jemaat terhadap puji-pujian yang sangat minim, dan bahkan mungkin sekali jemaat acuh tak acuh dan masa bodoh terhadap puji-pujian (baca: bernyanyi). Jemaat yang nota bene sebagai domba dibiarkan berkeliaran mencari rumput dan air pemahaman teologis sendiri-sendiri tentang makna, hakekat dan tujuan dari setiap peribadatan/kebaktian, sehingga domba-domba yang bernaung di dalam satu kandang GMIT memiliki pemahaman yang berbeda-beda bahkan saling bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Mungkin juga ada pemahaman yang sesat.

“Kok bisa…?”      

                Kembali ke sanjungan sebelumnya! Sebagai orang Kristen, sekiranya sanjungan yang dilontarkan oleh teman saya (bahwa orang Kristen pandai bernyanyi) itu jangan membuat kita puas dan bangga atau bahkan sombong, karena kondisinya sangat-sangat bertolak belakang dengan kenyataan sesungguhnya.

Bagi saya, sanjungan di atas adalah bukan hanya sekedar sebuah tampika-tampiki  (tampar pipi kanan-tampar pipi kiri), melainkan juga sebuah pukulan lucky blow (istilah dalam tinju untuk pukulan liar yang mematikan) yang menghantam rahang setiap orang Kristen (warga GMIT).

Disebut sebagai tamparan dan/atau pukulan, karena di dalam kenyataan, sebenarnya kesimpulan/anggapan tersebut hanyalah indah kabar dari pada rupa. Orang Kristen (GMIT) sama sekali, “Maaf…e!” hampir belum/tidak memperlihatkan sedikitpun gejala-gejala positif ke arah bisa bernyanyi apalagi pandai bernyanyi.

“Mau bukti…?”  

Saya mempersilahkan kita semua untuk melihat dan menyimak kondisi puji-pujian kita di setiap kebaktian kita di setiap gereja di dalam lingkup GMIT. Sebagian besar gereja yang pernah saya kunjungi menunjukkan fenomena puji-pujian yang sangat memprihatinkan; baik dari pemain musik, pemimpin pujian, pendeta, majelis dan lebih-lebih jemaat.

Padahal lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu abadi yang sudah dipergunakan sejak kekal hingga kekal. Namun tingkat penguasaannya yang ditunjukkan di saat bernyanyi sangat rendah bahkan, “sekali lagi, maaf…e!” nol kaboak (nol besar).

Tingkat penguasaan yang dimaksudkan di sini bukanlah hanya dengan menghafal perkataan dari lagu-lagu yang dinyanyikan, namun lebih dari itu, menguasai ragam lagu secara baik, benar dan bertanggung jawab yang di dalamnya tertera petunjuk-petunjuk atau simbol-simbol notasi sebagai elemen dasar yang membangun sebuah komposisi/lagu, dan belum lagi yang berhubungan dengan penghayatan dan ekspresi.

Terhadap kondisi ini, kelihatan sekali bahwa kita sudah “puaaass dan banggaaa” dan tetap “betaaahhh” berlama-lama di dalam keterpurukan ini.

“Aneh..! Salah kok dipiara..!”   

Thursday, April 3, 2014

OKB (3): “Bernyanyi Bukan Perintah Agama Kristen?”


Tidak salah memang anggapan atau kesimpulan bahwa orang Kristen pandai bernyanyi itu muncul dari kalangan non Kristen.

“Kenapa?”

 Karena jika ditelusuri lebih jauh, bernyanyi pada kenyataannya adalah sebuah kegiatan wajib bagi orang Kristen tanpa kecuali, atau oleh kalangan non Kristen dianggap sebagai sebuah perintah agama dalam hal ini perintah agama Kristen yang harus dijalankan oleh orang Kristen sendiri.

Kalau kita mau jujur, orang Kristen--warga GMIT sendiri sebenarnya belum atau mungkin tidak mau menyadari dan mengakui bahwa bernyanyi sesungguhnya adalah salah satu perintah agama. Bernyanyi adalah faktor ke-sekian yang tidak perlu mendapat perhatian, karena masih ada faktor-faktor lain yang dinilai lebih/sangat penting sebagai prioritas(?). Atau bernyanyi (mungkin) dianggap oleh sebagian kalangan sebagai hura-hura?

Jika demikian, coba kita membuka dan melihat buku Himpunan Liturgi kita. Bukankah bernyanyi, sebagai ungkapan puji-pujian kepada ALLAH, adalah kegiatan yang wajib dan harus dilakukan di dalam setiap kebaktian kita? Bukankah puji-pujian mendominasi di dalam liturgi kebaktian kita?

Jika saja pola pikir/anggapan kita (orang Kristen--warga GMIT) baik dari pemimpin agama sampai jemaat masih sama seperti yang dikemukakan di atas, maka Sinode GMIT sebaiknya mulai mempertimbangkan untuk merubah liturgi dengan mengurangi dan/atau menghilangkan nyanyian jemaat yang selama ini mendominasi di dalam setiap proses kebaktian kita.

“Maaf, kalo kurang berkenan…! Soalnya pola pikir sebagian besar jemaat/warga gereja sudah seperti itu!”

Namun jika GMIT ingin tetap mempertahankan bernyanyi sebagai ungkapan pujian jemaat kepada ALLAH dan/atau respon jemaat terhadap kemuliaan dan kehadiran ALLAH, maka GMIT pun harus melakukan upaya-upaya serius dan sistematis untuk menjelaskannya kepada warganya. GMIT harus peka dengan kondisi jemaat yang pada kenyataannya belum atau tidak memahami sama sekali tentang makna, hakekat dan tujuan beribadat kepada ALLAH di dalam setiap kebaktian kita.

(Bersambung)

Wednesday, April 2, 2014

OKB (2): “Wahai Warga GMIT-ku, Apakah Jawabmu?”


Saya pernah ditanya oleh seorang teman non Kristen dengan pertanyaan yang sebenarnya sederhana dan gampang tapi sangat sulit untuk dijawab, dan pertanyaan tersebut sekaligus merupakan sebuah tamparan keras bagi kita sebagai orang Kristen. 

Dibilang gampang karena memang pertanyaannya tidak sulit; tidak perlu hitung-kali-bagi menggunakan rumus-rumus tertentu untuk mendapatkan jawabannya. Namun dibilang sulit karena jawaban dari pertanyaan tersebut akan sangat berpengaruh pada citra kekristenan kita. Pertanyaan tersebut sebagai berikut:

“Semua orang Kristen pada pintar-pintar nyanyi, ya?”  

Saya persilahkan semua orang Kristen di seantero GMIT untuk menjawabnya.

Walaupun sudah dijawab bahwa tidak semua orang Kristen pandai bernyanyi, teman saya ini tidak percaya begitu saja, malah dipikirnya saya sedang memberikan jawaban yang sifatnya merendah di atas bukit. “Ha…ha…ta telek!”

“Aah..., tidak percaya!” bantahnya. “Soalnya yang saya tau, pada setiap upacara/sembahyang (baca: kebaktian) di gereja pasti ada ‘nyanyi’nya! Mana mungkin orang Kristen tidak bisa bernyanyi?! Bernyanyi kan ‘wajib’ bagi orang Kristen?! Saya ingin sekali belajar bernyanyi dari orang Kristen!” lanjutnya berharap.

Saya hanya diam seribu bahasa sambil terus mendengar apa yang dikatakannya. Dengan polosnya ia terus memuji dan memuji sambil memberikan contoh penyanyi-penyanyi idolanya yang berlatar belakang Kristen.

                Demikianlah pandangan orang-orang luar (baca: non Kristen) tentang orang Kristen dan ‘bernyanyi’. Pandangan sekaligus kesimpulan tersebut diambil karena mereka mengetahui, mendengar dan/atau menyaksikan sendiri kenyataan bahwa di setiap proses kebaktian orang Kristen pasti selalu terdapat puji-pujian (baca: aktifitas bernyanyi). Bahkan ada juga yang sempat mengungkapkan dengan penuh rasa heran:

“Dalam upacara atau kebaktian kedukaan dan pemakaman pun orang Kristen ‘bernyanyi’(?!)”

Lantas bagaimana tanggapan kita sebagai orang yang betul-betul Kristen, khususnya warga GMIT, terhadap apa yang telah menjadi kesimpulan ‘orang luar’ di atas? Bagaimana pula jika kita jujur menilai diri kita sendiri akan kemampuan ‘bernyanyi’ kita? Pedulikah kita akan hal ‘bernyanyi’? Bisakah kita ‘bernyanyi’ sama seperti anggapan ‘orang-orang luar’ tersebut? Anggaplah kalau kita bisa ‘bernyanyi’, apakah kita sudah melakukannya dengan baik dan benar? Apakah cara ‘bernyanyi’ kita sudah lebih baik dari orang lain yang bukan Kristen? Atau sebaliknya?

“Wahai…, warga GMIT-ku, apakah jawabmu…?”

               (Bersambung)

Tuesday, April 1, 2014

OKB (1): “Orang Kristen (dan) Bernyanyi”


Pada seri tulisan kali ini, saya akan secara khusus membahas tentang OKB: “Orang Kristen (Dan) Bernyanyi” bukan Orang Kaya Baru.

                Sebenarnya tulisan ini telah dibuat sejak ± 5 atau 6 tahun lalu berdasarkan kondisi riil yang masih saja terjadi di tengah-tengah orang Kristen terkhususnya warga GMIT dalam hal bernyanyi atau melakukan puji-pujian dewasa ini.

Tulisan ini pun dibuat untuk menggugah kita warga GMIT (yang juga sebagai orang Kristen) yang mau tidak mau harus mau belajar untuk dapat bernyanyi dengan baik dan benar. Kita tidak bisa mengingkari bahwa bernyanyi adalah suatu aktifitas wajib yang harus menjadi perhatian kita. Kita pun tidak bisa tidak menerima bahwa orang Kristen identik dengan bernyanyi (pandangan orang non Kristen).

Namun dalam kenyataan, pada setiap kebaktian, kita mungkin bisa menilai sendiri apakah kita, orang Kristen--warga GMIT, sudah bisa bernyanyi. Kita bisa merasakan apakah kita, orang Kristen—warga GMIT, sudah menyadari akan pentingnya bernyanyi. Kita pun bisa menduga-duga apakah kita, orang Kristen—warga GMIT, rindu untuk bernyanyi sebagai bentuk pujian dan persembahan bagi/kepada TUHAN.

Seri tulisan ini sudah melalui beberapa kali pengeditan, karena menurut teman-teman yang pernah membaca tulisan ini sebelumnya mengatakan bahwa tulisan ini sangatlah keras. Keras dalam penggunaan bahasa (kata dan ungkapan).

Sebelumnya saya ingin memohon maaf jika di dalam tulisan ini masih tersisa kata dan ungkapan yang menyinggung perasaan kita. Mudahan tulisan-tulisan yang tersaji ke depan ini bisa dimaknai sebagai himbauan dan harapan agar kita, orang Kristen—warga GMIT, bisa berubah menjadi lebih baik dan lebih baik lagi dalam hal bernyanyi.

Saya tidak bermaksud sedikitpun untuk menyinggung apalagi menciderai perasaan kita semua.