English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Friday, April 4, 2014

OKB (4): “Domba-Domba Berkeliaran Sendiri”


Ini jelas sekali terlihat dari tingkat penguasaan jemaat terhadap puji-pujian yang sangat minim, dan bahkan mungkin sekali jemaat acuh tak acuh dan masa bodoh terhadap puji-pujian (baca: bernyanyi). Jemaat yang nota bene sebagai domba dibiarkan berkeliaran mencari rumput dan air pemahaman teologis sendiri-sendiri tentang makna, hakekat dan tujuan dari setiap peribadatan/kebaktian, sehingga domba-domba yang bernaung di dalam satu kandang GMIT memiliki pemahaman yang berbeda-beda bahkan saling bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Mungkin juga ada pemahaman yang sesat.

“Kok bisa…?”      

                Kembali ke sanjungan sebelumnya! Sebagai orang Kristen, sekiranya sanjungan yang dilontarkan oleh teman saya (bahwa orang Kristen pandai bernyanyi) itu jangan membuat kita puas dan bangga atau bahkan sombong, karena kondisinya sangat-sangat bertolak belakang dengan kenyataan sesungguhnya.

Bagi saya, sanjungan di atas adalah bukan hanya sekedar sebuah tampika-tampiki  (tampar pipi kanan-tampar pipi kiri), melainkan juga sebuah pukulan lucky blow (istilah dalam tinju untuk pukulan liar yang mematikan) yang menghantam rahang setiap orang Kristen (warga GMIT).

Disebut sebagai tamparan dan/atau pukulan, karena di dalam kenyataan, sebenarnya kesimpulan/anggapan tersebut hanyalah indah kabar dari pada rupa. Orang Kristen (GMIT) sama sekali, “Maaf…e!” hampir belum/tidak memperlihatkan sedikitpun gejala-gejala positif ke arah bisa bernyanyi apalagi pandai bernyanyi.

“Mau bukti…?”  

Saya mempersilahkan kita semua untuk melihat dan menyimak kondisi puji-pujian kita di setiap kebaktian kita di setiap gereja di dalam lingkup GMIT. Sebagian besar gereja yang pernah saya kunjungi menunjukkan fenomena puji-pujian yang sangat memprihatinkan; baik dari pemain musik, pemimpin pujian, pendeta, majelis dan lebih-lebih jemaat.

Padahal lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu abadi yang sudah dipergunakan sejak kekal hingga kekal. Namun tingkat penguasaannya yang ditunjukkan di saat bernyanyi sangat rendah bahkan, “sekali lagi, maaf…e!” nol kaboak (nol besar).

Tingkat penguasaan yang dimaksudkan di sini bukanlah hanya dengan menghafal perkataan dari lagu-lagu yang dinyanyikan, namun lebih dari itu, menguasai ragam lagu secara baik, benar dan bertanggung jawab yang di dalamnya tertera petunjuk-petunjuk atau simbol-simbol notasi sebagai elemen dasar yang membangun sebuah komposisi/lagu, dan belum lagi yang berhubungan dengan penghayatan dan ekspresi.

Terhadap kondisi ini, kelihatan sekali bahwa kita sudah “puaaass dan banggaaa” dan tetap “betaaahhh” berlama-lama di dalam keterpurukan ini.

“Aneh..! Salah kok dipiara..!”   

0 comments:

Post a Comment