Ini jelas sekali
terlihat dari tingkat penguasaan jemaat terhadap puji-pujian yang sangat minim,
dan bahkan mungkin sekali jemaat acuh tak
acuh dan masa bodoh terhadap
puji-pujian (baca: bernyanyi). Jemaat yang nota
bene sebagai domba dibiarkan berkeliaran mencari rumput dan air pemahaman teologis sendiri-sendiri tentang makna,
hakekat dan tujuan dari setiap peribadatan/kebaktian, sehingga domba-domba yang bernaung di dalam satu kandang GMIT memiliki pemahaman yang
berbeda-beda bahkan saling bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Mungkin
juga ada pemahaman yang sesat.
“Kok bisa…?”
Kembali ke sanjungan sebelumnya! Sebagai
orang Kristen, sekiranya sanjungan
yang dilontarkan oleh teman saya (bahwa
orang Kristen pandai bernyanyi) itu jangan membuat kita puas dan bangga atau bahkan sombong,
karena kondisinya sangat-sangat bertolak
belakang dengan kenyataan sesungguhnya.
Bagi saya, sanjungan
di atas adalah bukan hanya sekedar sebuah tampika-tampiki
(tampar pipi kanan-tampar pipi kiri),
melainkan juga sebuah pukulan lucky blow
(istilah dalam tinju untuk pukulan liar yang mematikan) yang
menghantam rahang setiap orang
Kristen (warga GMIT).
Disebut sebagai tamparan dan/atau pukulan, karena di
dalam kenyataan, sebenarnya kesimpulan/anggapan tersebut hanyalah indah kabar dari pada rupa. Orang
Kristen (GMIT) sama sekali, “Maaf…e!”
hampir belum/tidak memperlihatkan sedikitpun gejala-gejala positif ke arah bisa bernyanyi apalagi pandai bernyanyi.
“Mau bukti…?”
Saya mempersilahkan
kita semua untuk melihat dan menyimak kondisi puji-pujian kita di setiap
kebaktian kita di setiap gereja di dalam lingkup GMIT. Sebagian besar gereja
yang pernah saya kunjungi menunjukkan fenomena puji-pujian yang sangat
memprihatinkan; baik dari pemain musik, pemimpin pujian, pendeta, majelis dan
lebih-lebih jemaat.
Padahal lagu-lagu
yang dinyanyikan adalah lagu-lagu abadi
yang sudah dipergunakan sejak kekal
hingga kekal. Namun tingkat penguasaannya yang ditunjukkan di saat bernyanyi
sangat rendah bahkan, “sekali lagi, maaf…e!” nol kaboak (nol besar).
Tingkat penguasaan
yang dimaksudkan di sini bukanlah hanya dengan menghafal perkataan dari
lagu-lagu yang dinyanyikan, namun lebih dari itu, menguasai ragam lagu secara
baik, benar dan bertanggung jawab yang di dalamnya tertera petunjuk-petunjuk
atau simbol-simbol notasi sebagai elemen dasar yang membangun sebuah komposisi/lagu,
dan belum lagi yang berhubungan dengan penghayatan dan ekspresi.
Terhadap kondisi
ini, kelihatan sekali bahwa kita sudah “puaaass
dan banggaaa” dan tetap “betaaahhh”
berlama-lama di dalam keterpurukan
ini.
“Aneh..! Salah kok dipiara..!”
0 comments:
Post a Comment