Lantas jika orang
Kristen tidak bisa bernyanyi, bukankah
kita adalah pembangkang-pembangkang
ulung yang melawan sistem peribadatan kita dan sekaligus menentang FIRMAN TUHAN?
Dengan cara apakah kita melakukan puji-pujian kepada ALLAH yang memang layak
mendapat puji-pujian tersebut? Dengan cara apakah kita, manusia berdosa ini,
mengucap syukur dan berterima kasih kepada ALLAH? Dengan cara apa pula kita menanggapi
dan merespon kehadiran dan/atau kemuliaan ALLAH? Dan bukankah ALLAH bertahta di
atas puji-pujian?
Kedua; Menyadari
ketidakmampuan kita dalam hal ‘bernyanyi’; bahwa sejak sekian lama kita
sebenarnya tidak bisa ‘bernyanyi’ dengan baik dan benar. (Lihat: Pertama)
“Minta maaf untuk yang merasa bisa bernyanyi…Kalau bisa,
buktikan…!”
Sebenarnya maksud
saya adalah: kita (warga GMIT) telah mengesampingkan aturan-aturan bernyanyi
yang sebenarnya dengan mengabaikan petunjuk dan simbol notasi yang nota bene adalah urat nadi dari sebuah puji-pujian (baca: lagu); menerapkan tempo
nyanyian yang tidak tepat, dan cenderung tidak mematuhi tanda birama (ketukan)
dan nilai nada yang ada, serta mengabaikan hal-hal yang berhubungan penghayatan,
ekspresi, dan unsur-unsur teknis lainnya.
Hal-hal yang
disebutkan inilah yang menyebabkan rendahnya kualitas puji-pujian kita dibandingkan
dengan puji-pujian dari denominasi lain,
dan bahkan dengan lagu-lagu sekuler
sekali pun. Dan itu akibat dari perbuatan
kita sendiri.
“Warga GMIT-ku, tolong ko pikir-pikir… dan lebe bae
sadar…!”
Cara bernyanyi kita
yang salah sejak lama telah menjadi
sebuah identitas yang melekat (dan
dilekatkan) pada diri gereja/warga GMIT. Malah sudah menjadi rahasia umum, kalau dalam hal bernyanyi, GMIT identik dengan ‘hela-tarek’ (bernyanyi dengan
tempo amat-sangat-terlalu lambat), ‘mati-angin’
(bernyanyi dengan loyo dan tidak bersemangat), ‘jato-mat’ (bernyanyi dengan tidak memperhatikan ketukan),
dan ‘mati-gaya’ (bernyanyi
dengan asal-asalan tanpa penghayatan dan ekspresi).
Sebenarnya masih
banyak lagi cap yang, menurut hemat
saya, sangat mencoreng wajah kita (GMIT) dalam hal melakukan puji-pujian/bernyanyi.
Kita harus peka, berusaha dan berjuang untuk memperbaiki diri dan secepatnya
keluar dari kondisi ini serta melepaskan citra
negatif yang dikenakan kepada kita selama ini. Kalau kita mau jujur, kita,
dengan semena-mena dan tanpa rasa bersalah telah membunuh jiwa dan spirit puji-pujian kita dari masa ke masa.
“Aduuhh, kasian…e…!”
0 comments:
Post a Comment