English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Saturday, April 12, 2014

OKB (7): “Identitas/Citra Yang Menjadi Rahasia Umum”


Lantas jika orang Kristen tidak bisa bernyanyi, bukankah kita adalah pembangkang-pembangkang ulung yang melawan sistem peribadatan kita dan sekaligus menentang FIRMAN TUHAN? Dengan cara apakah kita melakukan puji-pujian kepada ALLAH yang memang layak mendapat puji-pujian tersebut? Dengan cara apakah kita, manusia berdosa ini, mengucap syukur dan berterima kasih kepada ALLAH? Dengan cara apa pula kita menanggapi dan merespon kehadiran dan/atau kemuliaan ALLAH? Dan bukankah ALLAH bertahta di atas puji-pujian?

Kedua; Menyadari ketidakmampuan kita dalam hal ‘bernyanyi’; bahwa sejak sekian lama kita sebenarnya tidak bisa ‘bernyanyi’ dengan baik dan benar. (Lihat: Pertama)

“Minta maaf untuk yang merasa bisa bernyanyi…Kalau bisa, buktikan…!”

Sebenarnya maksud saya adalah: kita (warga GMIT) telah mengesampingkan aturan-aturan bernyanyi yang sebenarnya dengan mengabaikan petunjuk dan simbol notasi yang nota bene adalah urat nadi dari sebuah puji-pujian (baca: lagu); menerapkan tempo nyanyian yang tidak tepat, dan cenderung tidak mematuhi tanda birama (ketukan) dan nilai nada yang ada, serta mengabaikan hal-hal yang berhubungan penghayatan, ekspresi, dan unsur-unsur teknis lainnya.

Hal-hal yang disebutkan inilah yang menyebabkan rendahnya kualitas puji-pujian kita dibandingkan dengan puji-pujian dari denominasi lain, dan bahkan dengan lagu-lagu sekuler sekali pun. Dan itu akibat dari perbuatan kita sendiri.

“Warga GMIT-ku, tolong ko pikir-pikir… dan lebe bae sadar…!”

Cara bernyanyi kita yang salah sejak lama telah menjadi sebuah identitas yang melekat (dan dilekatkan) pada diri gereja/warga GMIT. Malah sudah menjadi rahasia umum, kalau dalam hal bernyanyi, GMIT identik dengan hela-tarek (bernyanyi dengan tempo amat-sangat-terlalu lambat), mati-angin (bernyanyi dengan loyo dan tidak bersemangat), jato-mat (bernyanyi dengan tidak memperhatikan ketukan), dan mati-gaya (bernyanyi dengan asal-asalan tanpa penghayatan dan ekspresi).

Sebenarnya masih banyak lagi cap yang, menurut hemat saya, sangat mencoreng wajah kita (GMIT) dalam hal melakukan puji-pujian/bernyanyi. Kita harus peka, berusaha dan berjuang untuk memperbaiki diri dan secepatnya keluar dari kondisi ini serta melepaskan citra negatif yang dikenakan kepada kita selama ini. Kalau kita mau jujur, kita, dengan semena-mena dan tanpa rasa bersalah telah membunuh jiwa dan spirit puji-pujian kita dari masa ke masa.

“Aduuhh, kasian…e…!”

(Bersambung)                                                          

0 comments:

Post a Comment