English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Tuesday, April 15, 2014

OKB (8): “Lagi-Lagi Tradisi Yang Bicara”


Ketiga; Belajar, belajar dan belajar; bahwa kita sebenarnya belum bisa bernyanyi dengan baik dan benar sesuai dengan aturan bernyanyi dan rambu-rambu notasi yang semestinya. Kecenderungan menganggap remeh lagu-lagu yang dianggap lama dan gampang membuat kita tetap terbelenggu dalam kebiasaan/tradisi bernyanyi yang salah dari masa ke masa. (Lihat: Pertama dan Kedua)

Apalagi sistem pembelajarannya pun tidak dapat dipertanggungjawabkan; sistem ahli waris (waris-mewarisi) yakni generasi sekarang mewarisi dan/atau bahkan ‘kodo anteru’ (menerima/menelan ‘bulat-bulat’) cara bernyanyi generasi sebelumnya, tanpa mempelajari lebih jauh salah-benarnya dan/atau membandingkan dengan petunjuk/simbol notasi yang sebenarnya dari sumber/referensi asli.

“Hat-hati…ceke leher…oo..!”

Ada sebuah pengalaman menarik yang pernah saya alami. Saya pernah mengiringi pemandu pujian yang nota bene juga anggota senior paduan suara (PS) dari sebuah PS terbaik gereja. Dari latar belakangnya tersebut, saya sama sekali tidak pantas untuk meragukan tingkat penguasaan notasinya.

“Namun apa yang terjadi, sodara-sodara…?”

Saat menyanyikan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat, sang pemimpin pujian bernyanyi seenak perut-nya tanpa menghiraukan tanda baca notasi yang tertera yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

“Loh, om.., tanta..,nyanyinya  kok begitu…?”

Ya, sebuah gambaran yang sangat bertolak belakang antara menyanyikan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat dan lagu-lagu PS. Lagu/puji-pujian liturgi/jemaat dibawakan tidak seindah lagu-lagu PS dalam arti tidak mengikuti petunjuk dan simbol notasi yang ada. Ternyata dari bincang-bincang, baru diketahui bahwa di saat menyanyikan lagu/puji-pujian liturgi/jemaat, ‘sang penyanyi’ tidak lagi memperhatikan tanda baca notasi yang ada.

“Sekali lagi sodara-sodara, tradisi yang bicara!”

Sang pemandu pujian bernyanyi sesuai dengan kebiasaan yang ia dengar secara turun-temurun. Ia juga mengakui bahwa kebanyakan lagu/puji-pujian liturgi dan Kidung Jemaat yang dinyanyikan tidak dipelajarinya lagi, karena kebanyakan lagu-lagunya telah diketahui pula sejak dahulu.

“Ooh…itu masalahnya…! Pantas…! Makanya belajar…!”   

(Bersambung)

0 comments:

Post a Comment