English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Thursday, January 30, 2014

Menyorot Praktek Puji-Pujian Gerejawi (4)


“KO HANYA PUJI TUHAN SA JU…!”
(Tulisan sebelumnya: KEMBALI KE TEKS ASLI)
           
            Sebagaimana yang telah disebutkan pada tulisan-tulisan terdahulu tentang ‘tradisi’ bernyanyi yang telah menjadi ‘warisan’ gereja/jemaat, ‘tradisi’ tersebut juga telah membentuk pola pikir gereja/jemaat GMIT secara permanen tentang makna dan hakekat puji-pujian. Sebuah pola pikir, yang menurut hemat saya, sangat bertolak belakang dengan Kristen dan/atau Kekristenan.

Bagaimana tidak, jika puji-pujian kepada ALLAH dalam bentuk nyanyian/lagu tidak wajib dipelajari dan dikuasai oleh warga gereja/jemaat?! Bagaimana tidak, jika puji-pujian kepada ALLAH dalam bentuk nyanyian/lagu bahkan dianggap tidak penting?! Ada ungkapan-ungkapan (dalam bahasa Kupang, pen) seperti: “Ko hanya puji TUHAN sa ju…!”, “Yaah…, yang penting puji TUHAN-laah…!” sering diucapkan ketika seseorang/sekelompok orang hendak melakukan aktifitas bernyanyi (memuji dan memuliakan TUHAN) di dalam rumah TUHAN.

            Ungkapan-ungkapan tersebut, sebenarnya, adalah cerminan pola pikir warga gereja/jemaat akan makna dan hakekat puji-pujian kepada ALLAH. Sadar atau tidak, ungkapan tersebut terkandung beberapa makna yang patut menjadi perhatian kita semua, karena ungkapan tersebut muncul sebagai akibat dari upaya iblis yang ingin menjauhkan kita dari ALLAH atau dari hadapan hadirat ALLAH, dan juga upaya iblis merampas kebesaran dan kemuliaan ALLAH.

Sadar atau tidak, kita sering berlindung di balik ungkapan yang sebenarnya adalah ciptaan iblis tersebut, sehingga iblis berhasil memperdayai kita yang sebenarnya adalah anak-anak ALLAH, umat perjanjian dan umat pilihan ALLAH untuk memberikan pujian dan persembahan yang terbaik dan sempurna kepada ALLAH kita. Ya, ungkapan yang menempatkan Tuhan ALLAH kita pada prioritas ke-sekian: bukan yang pertama dan utama; ungkapan yang mengijinkan kita melakukan persembahan puji-pujian dengan tidak sungguh-sungguh atau bukan yang terbaik kepada ALLAH; ungkapan yang menganggap remeh kebesaran dan kemuliaan ALLAH; dan ungkapan yang mencerminkan keangkuhan diri (baca: ego pribadi, pen) yang menempatkan ALLAH di belakang diri kita.

            Ada begitu banyak contoh dari praktek puji-pujian yang dilakukan di dalam rumah TUHAN yang seharusnya tidak terjadi. Ya, cara/praktek bernyanyi yang tidak memenuhi syarat-syarat berkesenian yang bertanggung jawab sering dipertontonkan di hampir setiap proses kebaktian. Praktek puji-pujian gerejawi baik oleh Prokantor/Kantoria (pemandu puji-pujian atau biasa disebut sebagai song leader), jemaat dan/atau seluruh peserta kebaktian maupun oleh kelompok PS, VG, dan/atau kelompok vokal lainnya dalam mengisi liturgi kebaktian yang masih sangat jauh dari harapan, dan belum mencerminkan spirit kekristenan kita.

Pdt. (Alm.) Wem FanggidaE pernah, pada sebuah kesempatan kebaktian Minggu, memberikan teguran keras kepada kelompok PS dan VG yang ‘bernyanyi asal bernyanyi’. PS tersebut bernyanyi dengan tidak memperhatikan harmonisasi vokal yang baik sejak awal sehingga terdengar ‘fals’. PS tersebut akhirnya dihentikan di ‘tengah jalan’ oleh pendeta dari atas mimbar setelah dua kali kesempatan yang diberikan untuk melakukan ‘tune’ vokal yang baik tetap gagal. Begitu pula dengan kelompok VG yang asal bernyanyi dan sama sekali tidak menunjukkan sebuah penampilan terbaik bagi TUHAN. Pujian yang dinyanyikan terdengar datar, hambar, loyo/lesu, tidak bersemangat, tidak harmonis, tanpa ekspresi dan membosankan.

Pendeta berkata: “Pulang…dan latihan lagi, kalau sudah bagus, baru datang nyanyi di gereja! Di sini kita bukan bernyanyi untuk siapa-siapa, tapi untuk memuji dan memuliakan Tuhan ALLAH kita! Jadi, lagu/puji-pujian yang dipersembahkan haruslah yang terbaik! Jangan asal-asal! Kalau tidak serius, tidak sungguh-sungguh memuji TUHAN, lebih baik urungkan niat anda untuk bernyanyi!”
           
Menilai teguran pendeta di atas, teguran tersebut sangatlah adil dan pantas. PS dan VG dan/atau kelompok vokal lainnya yang tidak mempersiapkan diri dengan baik/matang sebaiknya mengurungkan niatnya untuk bernyanyi di dalam rumah TUHAN. Sebenarnya, sebuah PS/VG adalah sebuah kelompok vokal yang tentu harus memiliki dan/atau menghadirkan paduan harmonisasi vokal dari jenis-jenis suara yang berbeda pada saat bernyanyi, dan menunjukkan sebuah kekompakan vokal dan/atau bernyanyi yang baik. Kelompok-kelompok ini terdiri dari sejumlah orang/anggota dan/atau penyanyi yang berkumpul dengan sengaja dan terencana untuk tujuan yang sangat mulia; memuji dan memuliakan TUHAN.

Namun sangat disayangkan jika sebuah kelompok vokal (PS/VG) yang ingin mempersembahkan puji-pujian di dalam rumah TUHAN dalam ‘aksinya’ tidak lebih bagus/baik dari sekelompok orang ‘mabuk’ yang bernyanyi di pinggir jalan. Atau apa gunanya kita membuat/membentuk sebuah PS/VG jika hasil akhir dari praktek bernyanyi yang kita lakukan tidak memiliki ‘nilai lebih’: tidak lebih indah, atau tidak lebih rapi, tidak lebih kompak dan/atau tidak lebih harmonis dari sekelompok orang yang berkumpul dan bernyanyi secara spontan tanpa persiapan dan latihan?!

Dalam iman, tentu kita semua percaya bahwa melakukan puji-pujian yang baik adalah sebuah bentuk persembahan yang berbau harum di hadapan hadirat ALLAH. Bukankah kita percaya bahwa ALLAH bertahta di atas puji-pujian? Kita dituntut untuk melakukan dan/atau memberikan persembahan yang terbaik sebagai wujud dari ungkapan syukur kita kepada ALLAH, pujian bagi kemuliaan ALLAH, dan sembah kepada ALLAH kita. Di samping berbau harum di hadapan hadirat ALLAH, persembahan puji-pujian yang terbaik itu pun akan sangat berpengaruh positif bagi jemaat/peserta kebaktian atau siapa pun yang mendengar dan/atau menyimaknya. Semua yang mendengar akan turut bersukacita dalam memuji dan memuliakan ALLAH dan tentu turut serta merasakan dan mendapatkan kasih, sukacita dan damai sejahtera sorgawi yang terkandung di dalam puji-pujian tersebut.

        Demikianlah seharusnya prokantor/kantoria (song leader), jemaat/peserta kebaktian, dan PS/VG atau kelompok vokal lainnya dalam melakukan praktek puji-pujian gerejawi di dalam rumah TUHAN. AMIN!

            (Bersambung ke: CATATAN AKHIR)

0 comments:

Post a Comment