English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Thursday, January 30, 2014

Menyorot Praktek Puji-Pujian Gerejawi (3)


KEMBALI KE TEKS ASLI
(Tulisan sebelumnya: LAGU GAMPANG & LAMA)
           
Di dalam GMIT, cara/praktek bernyanyi atau melakukan puji-pujian yang baik, benar dan bertanggung jawab seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini perlu dan harus menjadi fokus perhatian semua pihak (gereja/jemaat) karena sesungguhnya cara/praktek yang dilakukan selama ini masih sangatlah jauh dari harapan kita semua: ‘bernyanyi asal bernyanyi’ tanpa mau memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan prinsip/aturan dasar, etika dan estetika berkesenian. Padahal, ‘bernyanyi’ sebagai salah satu bagian seni di dalam sejarah kehidupan umat manusia (dan seni/kesenian yang lain) memiliki prinsip dan aturan tertentu yang harus ditaati demi mempertahankan ciri khas dan hakekatnya.

        Ada sebagian besar kalangan di dalam gereja/jemaat yang sama sekali tidak mempersoalkan kondisi ini. Ini telah dianggap dan/atau telah diterima sebagai hal yang sangat ‘wajar dan biasa-biasa’ saja, dan bahkan cara/praktek yang ‘salah’ ini pun (sekali lagi, cara/praktek yang ‘salah’ ini pun) sudah diterima dan diakui sebagai sebuah cara yang ‘benar’ yang dilestarikan dan diwariskan secara turun-temurun, dan bahkan terus dipertahankan sebagai ‘ciri khas’ yang membedakan GMIT dengan denominasi lainnya.

Dikatakan demikian karena selama ini, kalau tidak salah, belum pernah ada upaya-upaya serius dan sistematis yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (di dalam gereja/jemaat) untuk merubah atau mereformasi cara/praktek dimaksud. Kalau pun ada, upaya-upaya dimaksud masih sebatas wacana yang hanya diperbincangkan dan dikeluhkan tanpa suatu tindakan nyata untuk memperbaiki. Atau kalau pun ada, upaya-upaya dimaksud mungkin belum atau tidak mau ditanggapi, dan/atau bahkan ditolak oleh karena bertentangan dengan ‘tradisi’ gereja/jemaat??!!

Sebenarnya kita bisa berubah, kalau saja kita sadar dan mau merubah pola pikir kita, karena ‘gangguan’ sesungguhnya ada pada ‘pola pikir’ kita, bukan yang lain. Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, kita (gereja/jemaat, pen) cenderung dan senang sekali ‘menggampang-gampangkan’ dan ‘menganggap remeh’ puji-pujian gerejawi khususnya puji-pujian liturgi/jemaat, tanpa sedikitpun memperlihatkan cara/praktek bernyanyi yang baik, benar dan bertanggung jawab. Kita dengan sangat percaya dirinya bangga dengan cara/praktek bernyanyi yang hanya diperoleh dari ‘mulut ke mulut’ (layaknya gossip atau kabar angin?!) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepatutan dan kelayakannya. Jika pola pikir kita telah berubah, maka kita akan benar-benar sadar dan malu bahwa ternyata kita ‘keliru’ dan ‘salah’ menyanyikan ‘semua’(?) lagu/puji-pujian gerejawi khususnya lagu/puji-pujian di dalam Himpunan Liturgi, Kidung Jemaat, dll. (mudah-mudahan salah).

Ada satu jalan keluar sebagai satu-satunya alternatif terbaik yang dapat menggiring kita untuk memulai cara/praktek bernyanyi yang baik, benar, dan bertanggung jawab. Jalan keluar dimaksud, tidak lain dan tidak bukan, adalah ‘kembali ke teks asli’ dari lagu/puji-pujian sebagai satu-satunya sumber yang patut dipercaya. Ya, gereja/jemaat disarankan mulai membiasakan diri untuk mencari, membuka, melihat dan mempelajari kembali ‘teks asli’ dari lagu/puji-pujian yang dipakai sebagai ‘lagu wajib’ di dalam himpunan liturgi dan kebaktian kita. ‘Kembali ke teks asli’ adalah satu-satunya jalan terbaik untuk merubah cara/praktek bernyanyi yang semestinya sesuai dengan tuntutan dari sebuah lagu, bukan sesuai keinginan/kehendak kita dan/atau ‘tradisi’. Bernyanyi sesuai dengan perintah simbol dan petunjuk notasi yang ada di dalam sebuah lagu: memperhatikan birama, tempo, dinamika, perasaan, dan petunjuk teknis lainnya yang membangun sebuah komposisi lagu/puji-pujian.

Diakui, untuk mendapatkan ‘teks asli’ lagu/puji-pujian dimaksud, kecuali yang terambil dari Kidung Jemaat, memang agak sulit karena kebanyakan lagu/puji-pujian yang dipakai di dalam liturgi kebaktian berasal dari sumber-sumber lama (Tahlil, Nyanyian Rohani, dll) yang sulit diperoleh saat ini.

Dengan demikian maka adalah tugas dan kewajiban GMIT dan/atau gereja-gereja GMIT sebagai institusi melalui Unit Pembantu Pelayanan yang membidangi musik gerejawi untuk memfasilitasi dan menyediakan bagi warga jemaat untuk bisa memilikinya. Memang GMIT, dalam hal ini, beberapa gereja GMIT telah melakukan langkah tersebut dengan menerbitkan buku saku dan/atau buku himpunan liturgi kebaktian (Model 1, Model 2, dll). Namun sangat disayangkan, kutipan lagu/puji-pujian yang ada tidak disertai dengan pencantuman simbol dan/atau petunjuk notasi lagu yang benar sesuai dengan ‘teks’ lagu asli. Ini adalah sebuah bentuk pembodohan terhadap jemaat yang nota bene belum/tidak pernah melihat dan mendengar bentuk asli lagu/puji-pujian tersebut (khususnya Tahlil, Nyanyian Rohani dll). Bahkan pengutipan lagu dari Kidung Jemaat pun masih juga salah.

“Bagaimana jemaat bisa belajar melakukan praktek bernyanyi yang ‘benar’ jika salinan lagu/puji-pujian tidak sama/sesuai dengan teks aslinya?!”

0 comments:

Post a Comment