English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Wednesday, January 29, 2014

Menyorot Praktek Puji-Pujian Gerejawi (2)


LAGU GAMPANG & LAMA
(Tulisan sebelumnya: CATATAN AWAL)
           
            Lagu/puji-pujian liturgi/jemaat yang dipakai di dalam setiap liturgi kebaktian adalah lagu/puji-pujian yang sudah dipakai sejak sekian lama yang terambil dari beberapa buku himpunan pujian seperti Tahlil, Nyanyian Rohani, Kidung Jemaat dan lain sebagainya yang tentunya sudah tidak asing lagi bagi gereja/jemaat GMIT pada umumnya. Lagu/puji-pujian tersebut sering dan/atau selalu dinyanyikan pada setiap kesempatan kebaktian kita sesuai dengan liturgi yang telah ditetapkan: Liturgi Kebaktian Utama (Model 1 dan Model 2), dan Liturgi Kebaktian Khusus lainnya (Paskah, Kenaikan, Pentakosta, Bulan Keluarga, Adven, Natal, dll). Karenanya, maka lagu/puji-pujian tersebut sudah dianggap ‘enteng’ dan ‘gampang’ oleh banyak kalangan warga gereja/jemaat itu sendiri. Lagu/puji-pujian tersebut sudah menjadi lagu/puji-pujian ‘lama’ yang biasa (selalu) dipergunakan oleh gereja (GMIT) dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi.

            Ya, istilah lagu ‘gampang’ dan ‘lama’, sering ditujukan pada hampir semua lagu/puji-pujian liturgi/jemaat. Namun sangat disayangkan, istilah-istilah tersebut hanya tinggal istilah yang hampir tidak pernah dibuktikan sedikitpun di dalam praktek bernyanyi. Kita cenderung menganggap remeh lagu-lagu yang selalu atau sudah sering dinyanyikan tanpa mau menyadari apakah lagu/puji-pujian tersebut sudah dinyanyikan dengan baik dan benar atau belum, dan akhirnya kita dengan ‘over pe de’ nya (percaya diri yang berlebihan, pen) merasa bahwa cara/praktek kita menyanyikan lagu-lagu tersebut sudah baik dan benar adanya. Sebuah hubungan ‘sebab-akibat’ yang sungguh memprihatinkan di dalam melakukan aktifitas puji-pujian (bernyanyi, pen).

        Setiap lagu/puji-pujian ‘digampang-gampangkan’ sesuai selera dan kehendak hati, diubah ‘semau gue’, dan ‘diamputasi jiwa dan spiritnya’ demi memuaskan hasrat pribadi. Dan lebih parah lagi, semua tindakan tersebut dilakukan dengan penuh keangkuhan tanpa merasa bersalah/berdosa sedikit pun. Sebenarnya, tindakan-tindakan tersebut sudah cukup membuktikan bahwa kita adalah ‘tersangka/pelaku utama yang membunuh jiwa dan spirit kekristenan’ kita sendiri (dan perlu/patut dijerat dengan pasal berencana, pen).

            Sebenarnya kita sebagai warga gereja/jemaat dan/atau peserta kebaktian telah ‘hanyut’ terbawa ‘arus tradisi’ bernyanyi yang suka menyalahi prinsip-prinsip dan aturan-aturan dasar seni baik secara teori maupun praktek. ‘Tradisi’ tersebut yang akhirnya menjadi ‘warisan’ turun-temurun gereja/jemaat yang berada di bawah naungan GMIT dari masa ke masa. Upaya merubah tradisi yang telah mendarah daging tersebut terkesan sangat sulit untuk dilakukan baik oleh pihak gereja maupun oleh jemaat sendiri. Bahkan Unit Pembantu Pelayanan khusus yang membidangi musik gerejawi pun tidak mampu berbuat banyak untuk membenahi cara/praktek puji-pujian kita.  

          Sudah saatnya gereja, khususnya Unit Pembantu Pelayanan Ibadah/Musik Gerejawi, perlu/harus diperlengkapi dengan SDM (sumber daya manusia) yang memiliki pengetahuan dan kompetensi di bidang seni musik dan seni suara. Dengan demikian maka gereja diharapkan mulai melakukan sebuah terobosan baru yang berpihak pada pembenahan lagu/puji-pujian (dan musik) gerejawi di dalam praktek. Terobosan yang dimaksud adalah memberikan pedoman dan arah (petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan) yang jelas dan terpadu yang berhubungan dengan praktek puji-pujian (dan musik pengiring) berdasarkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan dasar seni musik dan seni suara yang didasari pula dengan sebuah tinjauan teologis-alkitabiah yang baik.

(Bersambung ke: KEMBALI KE TEKS ASLI)

0 comments:

Post a Comment