(Surat Kepada Sahabat-Sahabat GMIT-ku)
Shabat-sahabat GMIT-ku! Kita sebagai
warga gereja generasi penerus GMIT perlu memahami bahwa puji-pujian adalah
salah satu hal penting dalam peribadatan kita. Sebagaimana persekutuan (baca: gereja)
Kristen mula-mula adalah persekutuan yang berdoa dan persekutuan yang
bernyanyi. Bagaimana mungkin kita sebagai penerus tidak peduli dengan
puji-pujian (baca: bernyanyi)?
Saatnya
sekarang kita harus termotivasi untuk mulai menata dan membenahi semua
kekurangan kita yang mungkin dapat dikatakan berada pada tahapan kronis.
Mungkin ada
yang bertanya: “Bagaimana caranya?”
Saya menjawab:
“Caranya sangat mudah dan simpel!”
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Dalam
mereformasi cara/praktek puji-pujian kita, kita tidak perlu muluk-muluk mencari
metode pembelajaran yang sekiranya membingungkan kita sendiri. Saya tertarik
untuk menggunakan istilah “back to basic”.
Ya, sebuah istilah yang mengajak kita untuk “kembali
ke asal/hakekat asal”.
Dalam
hubungannya dengan melakukan puji-pujian, saya mengajak kita semua untuk
kembali ke teks/notasi lagu asli yang merupakan asal-muasal dari setiap lagu/puji-pujian.
Kita perlu kembali melihat dan mempelajari setiap lagu/puji-pujian (yang
mungkin mudah/gampang menurut kita) sesuai dan/atau berdasarkan simbol/petunjuk
notasi untuk bisa mengikuti ‘tuntutan’
dari lagu/puji-pujian tersebut. Setiap lagu/puji-pujian harus dilihat dan
dipelajari kembali seolah-olah kita belum mengetahui lagu/pujian tersebut
(mulai dari nol, pen). Pertanyaan seperti, “Sudah benarkah atau baikkah
kita menyanyikan lagu ini sesuai teks?” harus selalu ada setiap kali kita mulai
dan/atau selesai mempelajari sebuah lagu.
Sahabat-sahabat GMIT-ku! Dalam
bernyanyi, kita perlu mengikuti dan menaati ‘apa kata teks/notasi’, bukan mengikuti ‘apa kata hati/selera/naluri’ kita, sehingga ‘jiwa dan spirit’
lagu/puji-pujian tetap ada dan terjaga.
Perlu kita
ketahui bersama bahwa sudah sekian lama kita ‘tersesat’ dalam hal cara/praktek bernyanyi atau melakukan
puji-pujian yang tidak benar. Kita cenderung bernyanyi sesuai selera/naluri ‘liar’ kita tanpa menghiraukan
petunjuk/simbol notasi yang tertera di dalam sebuah teks lagu, yang sebenarnya
adalah ‘jiwa/spirit’ dari lagu
tersebut yang juga sekaligus mencerminkan ‘jiwa/spirit
kekristenan’ kita.
Sudah saatnya
kita harus mematikan selera/naluri ‘liar’
kita untuk tidak lagi ‘membunuh’ jiwa/spirit
kekristenan kita di dalam setiap lagu/puji-pujian kita. Dengan demikian, dengan
sendirinya kita turut menjaga dan memelihara kualitas lagu/pujian yang nota bene tercipta bukan karena
semata-mata hasil karya manusia, melainkan juga berkat campur tangan TUHAN. (Bersambung)
0 comments:
Post a Comment