KEMBALI KE TEKS ASLI
(Tulisan sebelumnya: LAGU GAMPANG & LAMA)
Di dalam GMIT,
cara/praktek bernyanyi atau melakukan puji-pujian yang baik, benar dan
bertanggung jawab seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini perlu dan harus
menjadi fokus perhatian semua pihak (gereja/jemaat) karena sesungguhnya
cara/praktek yang dilakukan selama ini masih sangatlah jauh dari harapan kita
semua: ‘bernyanyi asal bernyanyi’ tanpa mau memperhatikan aspek-aspek yang
berhubungan dengan prinsip/aturan dasar, etika dan estetika berkesenian. Padahal,
‘bernyanyi’ sebagai salah satu bagian seni di dalam sejarah kehidupan umat
manusia (dan seni/kesenian yang lain) memiliki prinsip dan aturan tertentu yang
harus ditaati demi mempertahankan ciri khas dan hakekatnya.
Ada sebagian besar kalangan di dalam gereja/jemaat yang sama sekali tidak mempersoalkan kondisi ini. Ini telah dianggap dan/atau telah diterima sebagai hal yang sangat ‘wajar dan biasa-biasa’ saja, dan bahkan cara/praktek yang ‘salah’ ini pun (sekali lagi, cara/praktek yang ‘salah’ ini pun) sudah diterima dan diakui sebagai sebuah cara yang ‘benar’ yang dilestarikan dan diwariskan secara turun-temurun, dan bahkan terus dipertahankan sebagai ‘ciri khas’ yang membedakan GMIT dengan denominasi lainnya.
Dikatakan
demikian karena selama ini, kalau tidak salah, belum pernah ada upaya-upaya
serius dan sistematis yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (di
dalam gereja/jemaat) untuk merubah atau mereformasi cara/praktek dimaksud.
Kalau pun ada, upaya-upaya dimaksud masih sebatas wacana yang hanya
diperbincangkan dan dikeluhkan tanpa suatu tindakan nyata untuk memperbaiki.
Atau kalau pun ada, upaya-upaya dimaksud mungkin belum atau tidak mau
ditanggapi, dan/atau bahkan ditolak oleh karena bertentangan dengan ‘tradisi’
gereja/jemaat??!!
Sebenarnya
kita bisa berubah, kalau saja kita sadar dan mau merubah pola pikir kita,
karena ‘gangguan’ sesungguhnya ada pada ‘pola pikir’ kita, bukan yang lain.
Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, kita (gereja/jemaat, pen) cenderung
dan senang sekali ‘menggampang-gampangkan’ dan ‘menganggap remeh’ puji-pujian
gerejawi khususnya puji-pujian liturgi/jemaat, tanpa sedikitpun memperlihatkan
cara/praktek bernyanyi yang baik, benar dan bertanggung jawab. Kita dengan
sangat percaya dirinya bangga dengan cara/praktek bernyanyi yang hanya
diperoleh dari ‘mulut ke mulut’ (layaknya gossip atau kabar angin?!) yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepatutan dan kelayakannya. Jika pola pikir kita
telah berubah, maka kita akan benar-benar sadar dan malu bahwa ternyata kita ‘keliru’
dan ‘salah’ menyanyikan ‘semua’(?) lagu/puji-pujian gerejawi khususnya
lagu/puji-pujian di dalam Himpunan Liturgi, Kidung Jemaat, dll. (mudah-mudahan
salah).
Ada satu jalan
keluar sebagai satu-satunya alternatif terbaik yang dapat menggiring kita untuk
memulai cara/praktek bernyanyi yang baik, benar, dan bertanggung jawab. Jalan
keluar dimaksud, tidak lain dan tidak bukan, adalah ‘kembali ke teks asli’ dari
lagu/puji-pujian sebagai satu-satunya sumber yang patut dipercaya. Ya,
gereja/jemaat disarankan mulai membiasakan diri untuk mencari, membuka, melihat
dan mempelajari kembali ‘teks asli’ dari lagu/puji-pujian yang dipakai sebagai ‘lagu
wajib’ di dalam himpunan liturgi dan kebaktian kita. ‘Kembali ke teks asli’
adalah satu-satunya jalan terbaik untuk merubah cara/praktek bernyanyi yang
semestinya sesuai dengan tuntutan dari sebuah lagu, bukan sesuai
keinginan/kehendak kita dan/atau ‘tradisi’. Bernyanyi sesuai dengan perintah
simbol dan petunjuk notasi yang ada di dalam sebuah lagu: memperhatikan birama,
tempo, dinamika, perasaan, dan petunjuk teknis lainnya yang membangun sebuah
komposisi lagu/puji-pujian.
Diakui, untuk
mendapatkan ‘teks asli’ lagu/puji-pujian dimaksud, kecuali yang terambil dari
Kidung Jemaat, memang agak sulit karena kebanyakan lagu/puji-pujian yang
dipakai di dalam liturgi kebaktian berasal dari sumber-sumber lama (Tahlil,
Nyanyian Rohani, dll) yang sulit diperoleh saat ini.
Dengan
demikian maka adalah tugas dan kewajiban GMIT dan/atau gereja-gereja GMIT sebagai
institusi melalui Unit Pembantu Pelayanan yang membidangi musik gerejawi untuk
memfasilitasi dan menyediakan bagi warga jemaat untuk bisa memilikinya. Memang
GMIT, dalam hal ini, beberapa gereja GMIT telah melakukan langkah tersebut
dengan menerbitkan buku saku dan/atau buku himpunan liturgi kebaktian (Model 1,
Model 2, dll). Namun sangat disayangkan, kutipan lagu/puji-pujian yang ada
tidak disertai dengan pencantuman simbol dan/atau petunjuk notasi lagu yang
benar sesuai dengan ‘teks’ lagu asli. Ini adalah sebuah bentuk pembodohan
terhadap jemaat yang nota bene
belum/tidak pernah melihat dan mendengar bentuk asli lagu/puji-pujian tersebut (khususnya
Tahlil, Nyanyian Rohani dll). Bahkan pengutipan lagu dari Kidung Jemaat pun masih
juga salah.
“Bagaimana
jemaat bisa belajar melakukan praktek bernyanyi yang ‘benar’ jika salinan lagu/puji-pujian
tidak sama/sesuai dengan teks aslinya?!”
(Bersambung ke: “KO HANYA PUJI TUHAN SAJU…!”)
0 comments:
Post a Comment