“BERBEDA-BEDA
(DAN) TIDAK SAMA”
Pada setiap Kebaktian Utama
Minggu (KUM) kecuali pada Kebaktian Hari-Hari Raya Gerejawi, gereja-gereja yang
tergabung di dalam Wilayah Pelayanan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor
(GMIT) selalu menggunakan Tata Ibadah/Liturgi Kebaktian Utama yang sama yakni Tata Ibadah/Liturgi Model I dan Model II.
Kedua Model Liturgi ini digunakan secara bergantian pada setiap minggunya.
Pada hakekatnya, himpunan Tata Ibadah/Liturgi Kebaktian Utama Minggu Model I
dan Model II adalah sebuah panduan bagi jemaat dan/atau peserta
kebaktian untuk dapat mengikuti setiap tahapan proses kebaktian dari awal
hingga selesai. Tahapan proses kebaktian yang tercantum di dalam Tata Ibadah/Liturgi Model I dan Model II adalah sebagai
berikut:
Persiapan, Votum, Salam,
Introitus, Pengakuan Dosa, Pemberitaan Anugerah ALLAH, Puji-Pujian, Pembacaan
Mazmur, Pemberitaan Firman Tuhan, Khotbah, Pengakuan Iman dan Persembahan
Jemaat. Doa
Syafaat, Nyanyian Jemaat, Berkat, Saat Teduh dan Suara Gembala.
Setiap gereja dalam Wilayah Pelayanan GMIT (Gereja-Gereja Masehi Injili di Timor) sudah pasti
memiliki Buku Himpunan Liturgi Kebaktian Utama yang seragam/sama dalam setiap
tahapan prosesnya seperti yang telah disebutkan di atas. Namun sangat
disayangkan, keseragaman tahapan tersebut tidak diikuti dengan keseragaman
bernyanyi atau melagukan Pujian/Nyanyian Jemaat yang ditetapkan oleh Sinode
GMIT sebagai respon/tanggapan jemaat/peserta kebaktian pada setiap tahapan
tersebut.
Keseragaman yang dimaksudkan disini bukanlah keseragaman
dalam arti bahwa setiap gereja harus menyanyikan lagu-lagu Pujian/Nyanyian
Jemaat yang telah ditetapkan tersebut. Keseragaman yang dimaksudkan disini
bukanlah keseragaman dalam arti bahwa sudah tidak terbuka lagi kemungkinan
untuk menggantikan lagu-lagu tersebut dengan lagu-lagu yang lain. Bukan! Namun
keseragaman yang dimaksudkan adalah keseragaman dalam hal cara menyanyikan/melagukan
notasi lagu atau ragam lagu dari Pujian/Nyanyian Jemaat yang ada dan/atau yang
telah ditetapkan di dalam himpunan Tata Ibadah/Liturgi Model I dan Model II tersebut.
Ada kecenderungan terjadi perbedaan yang sangat mencolok
dari cara/praktek bernyanyi jemaat terhadap lagu-lagu yang dipakai di dalam
Liturgi di tiap-tiap gereja di dalam Wilayah Pelayanan GMIT. Pujian/Nyanyian
Jemaat yang sama dinyanyikan dengan cara yang berbeda, dan lebih-lebih
lagu-lagu tersebut dinyanyikan tidak sesuai dengan aturan dan prinsip dasar
berkesenian (seni musik dan seni suara). Dan hal ini sebenarnya sangat
mengganggu baik dari segi cita rasa seni (vocal dan musikalitas), dan sudah
tentu pula akan menciderai (bahkan ‘membunuh’) jiwa dan spirit dari puji-pujian
tersebut yang pada hakekatnya pula, menurut hemat saya, adalah jiwa dan spirit
kekristenan.
Kita (warga jemaat/gereja) seringkali mengabaikan dan
cenderung masa bodoh dengan penerapan puji-pujian yang baik dan benar, dan
bahkan tidak menganggap puji-pujian (baca: bernyanyi) sebagai suatu hal yang
sangat penting dalam sebuah proses kebaktian. Melakukan puji-pujian dalam
bentuk bernyanyi dianggap hanya sebagai faktor pelengkap yang tidak penting. Padahal
menurut hemat saya, melakukan puji-pujian (baca: bernyanyi) adalah sebuah kewajiban
mutlak bagi setiap orang yang mengaku diri sebagai orang KRISTEN. Sesuai dengan perintah liturgi, Bernyanyi
menjadi hal wajib yang harus dilakukan oleh setiap orang Kristen (baca: JEMAAT)
dalam berbakti kepada ALLAH, memuji dan memuliakan-NYA dalam sebuah kebaktian.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakseragaman
dalam hal bernyanyi tersebut, antara lain:
1) Minimnya pengetahuan jemaat atau peserta kebaktian akan
Pujian/Nyanyian Jemaat yang ada di dalam setiap Liturgi (mudah-mudahan salah,
pen). Ada juga pemahaman yang keliru di dalam pola pikir jemaat bahwa yang
penting dari sebuah kebaktian hanyalah mendengarkan khotbah dan memberi persembahan
(mudah-mudahan salah juga, pen).
2) Pemahaman
dan/atau pengetahuan jemaat terhadap Pujian/Nyanyian Jemaat yang berbeda-beda,
sebagai akibat dari begitu beragamnya latar belakang suku/etnis di dalam jemaat
(?). Perlu penelitian lebih lanjut.
3) Kebiasaan bernyanyi yang salah sejak dulu yang
diwariskan secara turun-temurun hingga kini, dan
4) Pengutipan/penulisan notasi lagu dari Pujian/Nyanyian
Jemaat yang berbeda-beda dari gereja yang satu dengan gereja yang lain yang tidak
bersumber dari referensi/teks lagu yang asli.
Berdasarkan pengamatan sekian lama terhadap praktek
bernyanyi di gereja-gereja dalam lingkup GMIT, khususnya dalam hal menyanyikan
Pujian/Nyanyian Jemaat yang terdapat di dalam Liturgi Model I dan II, keempat
faktor penyebab di atas saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan
yang lainnya. Keempat faktor inilah yang perlu mendapat perhatian kita bersama
sehingga secepatnya kita (warga gereja/jemaat dan seluruh elemen dalam GMIT)
bisa keluar dari keterpurukan dalam hal “bernyanyi memuji Tuhan”. AMIN.
0 comments:
Post a Comment