English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Wednesday, September 24, 2014

PENDARASAN MAZMUR; Berbau Katolik? & Lagu-Lagu Serupa Dalam Tradisi-Tradisi Kebudayaan Indonesia (3/6)

Pdt. Harry van Dop & Yefta Nabuasa

BERBAU KATOLIK?

Banyak lagu gereja yang kita pakai dalam gereja-gereja Protestan, berasal dari Katolik. Misalnya lagu-lagu Natal seperti “O datanglah, Immanuel”, “S’lamat-s’lamat datang”, “Malam Kudus”, “Hai mari berhimpun”. Ternyata tidak ada yang keberatan, mungkin oleh karena bentuknya mirip dengan lagu-lagu yang sudah lama biasa bagi kita.

Tetapi begitu ada lagu tanpa birama tetap, seperti pendarasan Mazmur, kita memberi cap ‘katolik’ kepadanya. Padahal, cara pendarasan Mazmur adalah warisan dari tradisi umat Israel. Yesus dan murid-murid-Nya serta Paulus dan Silas mendaraskan Mazmur dengan cara seperti itu. Memang katolik sifatnya, yakni dalam arti ‘am’ – sebagaimana kita mengaku diri sebagai ‘katolik’ juga, hanya saja Katolik-Protestan: “Aku percaya kepada yang kudus dan katolik (‘katholikรจ, merangkul semua, am), persekutuan orang kudus”. GPIB, HKBP, GKI, GBI? Siapakah ‘persekutuan orang kudus’ itu, kalau bukan semua orang yang bersatu di dalam Kristus Yesus dan ikut berdoa di dalam Dia? Kitab Mazmur sebagai Doa-doa Mesias adalah unsur pemersatu kita.

LAGU-LAGU SERUPA DALAM TRADISI-TRADISI KEBUDAYAAN INDONESIA

Juga dalam kebudayaan-kebudayaan di Indonesia terdapat cara-cara melagulantunkan cerita dengan nada-nada yang tidak pakai birama tetap: riwayat sejarah, mitos suku bangsa, legenda, dongeng, wejangan-wejangan dll. Yang menyanyikannya ialah seorang penyanyi tunggal. Alat musik yang mengiringinya sederhana. Tidak jarang para hadirin menanggapinya dengan Refrein.
               
Apakah cara seperti ini dapat kita gunakan untuk Mazmur? Lagu-lagu itu tidak berbau katolik atau protestan: hanya merupakan suatu cara yang praktis untuk menyampaikan pesan-pesan dan meneruskan tradisi dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya.
               
Marilah kita yang datang dari pelbagai latar belakang budaya dan hadir di sini, mencoba mengumpulkan contoh-contoh cara bernyanyi seperti itu, yakni dengan menuliskannya, mencatat sebutannya dan merumuskan isinya.

Yang amat menarik dalam cara seperti itu ialah bahwa ‘dalang’-nya sempat menggunakan segala kemahiran retorika untuk benar-benar menyampaikan sesuatu – lain dari pada halnya dengan lagu-lagu yang terkurung dalam syair berbirama. Juga ornamentasi (‘perhiasan’) di dalamnya berfungsi untuk menekankan makna dari kata-kata penting – bukan demi keindahan lagu, melainkan demi kepentingan komunikasi. Dengan demikian ‘tembang mocopatan’ dari Jawa atau ‘sinrili’ dari Sulawesi Selatan dll tidak pernah membosankan, sekalipun mengisi semalam suntuk: hadirin benar-benar terpukau mendengarkannya. Itu memang hasil kesenian dari orang yang pandai membawakan cerita dengan lagu. [Prev=>Next: PENDARASAN MAZMUR; Manfaat PendarasanMazmur]

0 comments:

Post a Comment