Pdt. Harry van Dop & Yefta Nabuasa |
BERBAU
KATOLIK?
Banyak lagu gereja yang kita pakai dalam gereja-gereja
Protestan, berasal dari Katolik. Misalnya lagu-lagu Natal seperti “O datanglah, Immanuel”, “S’lamat-s’lamat
datang”, “Malam Kudus”, “Hai mari berhimpun”. Ternyata tidak ada yang
keberatan, mungkin oleh karena bentuknya mirip dengan lagu-lagu yang sudah lama
biasa bagi kita.
Tetapi begitu ada lagu tanpa birama tetap, seperti
pendarasan Mazmur, kita memberi cap ‘katolik’ kepadanya. Padahal, cara
pendarasan Mazmur adalah warisan dari tradisi umat Israel. Yesus dan
murid-murid-Nya serta Paulus dan Silas mendaraskan Mazmur dengan cara seperti
itu. Memang katolik sifatnya, yakni dalam arti ‘am’ – sebagaimana kita mengaku
diri sebagai ‘katolik’ juga, hanya saja Katolik-Protestan: “Aku percaya kepada
yang kudus dan katolik (‘katholikรจ’, merangkul semua, am),
persekutuan orang kudus”. GPIB, HKBP, GKI, GBI? Siapakah ‘persekutuan orang
kudus’ itu, kalau bukan semua orang yang bersatu di dalam Kristus Yesus dan
ikut berdoa di dalam Dia? Kitab Mazmur sebagai Doa-doa Mesias adalah unsur
pemersatu kita.
LAGU-LAGU
SERUPA DALAM TRADISI-TRADISI KEBUDAYAAN INDONESIA
Juga dalam kebudayaan-kebudayaan di Indonesia terdapat
cara-cara melagulantunkan cerita dengan nada-nada yang tidak pakai birama
tetap: riwayat sejarah, mitos suku bangsa, legenda, dongeng, wejangan-wejangan
dll. Yang menyanyikannya ialah seorang penyanyi tunggal. Alat musik yang
mengiringinya sederhana. Tidak jarang para hadirin menanggapinya dengan
Refrein.
Apakah cara seperti ini dapat kita gunakan untuk Mazmur?
Lagu-lagu itu tidak berbau katolik atau protestan: hanya merupakan suatu cara
yang praktis untuk menyampaikan pesan-pesan dan meneruskan tradisi dari
generasi yang satu kepada generasi berikutnya.
Marilah kita yang datang dari pelbagai latar belakang
budaya dan hadir di sini, mencoba mengumpulkan contoh-contoh cara bernyanyi
seperti itu, yakni dengan menuliskannya, mencatat sebutannya dan merumuskan
isinya.
Yang amat menarik dalam cara seperti itu ialah bahwa ‘dalang’-nya sempat menggunakan segala
kemahiran retorika untuk benar-benar menyampaikan sesuatu – lain dari pada
halnya dengan lagu-lagu yang terkurung dalam syair berbirama. Juga ornamentasi (‘perhiasan’) di dalamnya
berfungsi untuk menekankan makna dari kata-kata penting – bukan demi keindahan
lagu, melainkan demi kepentingan komunikasi. Dengan demikian ‘tembang mocopatan’ dari Jawa atau ‘sinrili’ dari Sulawesi Selatan dll
tidak pernah membosankan, sekalipun mengisi semalam suntuk: hadirin benar-benar
terpukau mendengarkannya. Itu memang hasil kesenian dari orang yang pandai
membawakan cerita dengan lagu. [Prev=>Next: PENDARASAN MAZMUR; Manfaat PendarasanMazmur]
0 comments:
Post a Comment