Seri tulisan ini dimaksudkan agar sahabat-sahabat GMIT-ku
yang mungkin diberi talenta dalam bidang seni musik dan seni suara oleh Tuhan,
setelah menyelesaikan seri bacaan ini, bisa merenung sejenak, berpikir dan
menilai tentang kondisi puji-pujian kita di jemaat/gereja kita masing-masing.
Apakah kondisi puji-pujian kita di jemaat/gereja
kita sudah berlangsung dengan baik dan benar sesuai dengan etika dan estetika
seni musik dan seni suara? Etika yang
dimaksud di sini adalah melakukan puji-pujian dengan prinsip-prinsip
musikalitas yang baik dan bertanggungjawab berdasarkan sebuah pemahaman yang
baik akan aturan-aturan di dalam seni musik dan seni suara. Dan yang dimaksud
dengan estetika adalah melakukan
puji-pujian yang menghadirkan keindahan dan harmoni.
Mungkin untuk lebih jelas tentang etika dan estetika yang disebutkan di atas, saya ingin bercerita sedikit
tentang pengalaman yang pernah saya alami dan saksikan dulu (flashback) berhubungan dengan kondisi
puji-pujian jemaat yang berlangsung di gereja setiap kali kebaktian
berlangsung:
Dalam setiap kebaktian Minggu di gereja, saya selalu merasa aneh dengan cara bernyanyi yang dilakukan baik oleh jemaat, pemandu pujian maupun oleh pendeta sekalipun. Dalam pikiran saya yang masih kanak-kanak saat itu, lagu-lagu yang dinyanyikan terasa tidak bagus dan tidak ‘enak’ didengar. Dan keadaan tersebut berlangsung terus-menerus hingga satu saat, di usia-usia remaja dan pemuda, saya memutuskan untuk tidak lagi ke gereja untuk beribadat.
Mungkin sahabat-sahabat GMIT-ku bertanya-tanya kenapa saya yang masih dalam usia kanak-kanak sudah bisa menilai tentang ‘bagus atau tidak bagus’ dan ‘enak atau tidak enak’ dari praktek puji-pujian yang ada.
Sebenarnya bukan saya sudah mampu menilai, tapi saya hanya bisa merasa bahwa memang ‘tidak bagus’ dan ‘tidak enak’. Saya juga tidak tahu alasan kenapa ‘tidak bagus’ dan ‘tidak enak’.
Ternyata alasan kenapa ‘tidak bagus’ dan ‘tidak enak’ saya baru temukan saat ini. Sejak masa kanak-kanak (kelas 4 Sekolah Dasar), saya sudah pandai bermain gitar, dan sudah bisa mengiringi banyak lagu dengan baik: lagu-lagu rohani maupun yang bukan rohani. Karena kemampuan bermain gitar tersebut, tanpa sadar saya sudah memiliki paling kurang ‘feel’ bermusik yang baik, sehingga dalam bernyanyi bisa ditentukan kapan harus memulai sebuah lagu di setiap bagiannya.
Ternyata yang terjadi di dalam gereja lain dan berbeda samasekali dengan yang terjadi di ‘luar gereja’. Ada yang mengatakan bahwa memang lagu-lagu yang dinyanyikan di gereja (GMIT) sulit. Saya juga saat itu membenarkan anggapan tersebut, karena saya juga merasa lagu-lagunya memang sulit, tapi saya tetap merasa aneh.
Kalau dibilang sulit, memang sulit, tapi yang saya cermati dari lagu-lagu yang biasa dinyanyikan sebenarnya tidak sulit juga. Kenapa saya bilang begitu, karena dalam bermain gitar apalagi sudah di usia-usia SMP/SMA, saya juga sudah mempelajari lagu-lagu yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi.
Yang saya rasakan sebenarnya bukan masalah sulit atau tidak dari lagu-lagu yang ada, tapi ada sesuatu yang mengganjal yang terkait dengan ‘feel’ bernyanyi/bermusik. Ternyata setelah menekuni lagu-lagu yang biasa dipakai di dalam kebaktian, baru ketahuan bahwa sebenarnya cara bernyanyi kita yang tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk notasi yang seharusnya. Kita cenderung mengabaikan setiap simbol-simbol yang ada yang berhubungan dengan birama, ketukan, harga/nilai notasi dari lagu-lagu yang ada.
Sekali mengabaikan simbol-simbol yang ada, maka rusaklah seluruh komposisi yang dibangun dalam sebuah lagu. Dengan demikian siapapun yang mendengar akan merasa aneh dengan lagu-lagu yang kita nyanyikan. Dan ini, menurut saya, adalah hal yang sangat (sekali lagi: sangat) memprihatinkan. Apalagi cara bernyanyi yang ‘sangat memprihatinkan’ ini didengar juga oleh ‘tetangga-tetangga’ kita yang bukan GMIT dan yang bukan Kristen. Soalnya jauh di luar tembok gereja kita (GMIT), dalam hal puji-pujian (bernyanyi) kita (GMIT) sudah terlanjur dicap negatif (akan dibahas secara khusus).
Oleh sebab itu, pada kesempatan ini, saya mengajak
sahabat-sahabat GMIT-ku untuk mulai dan mau peduli dengan kondisi puji-pujian
kita. Kita harus berusaha untuk mencermati, mencari tahu akar permasalahannya
dan menemukan jalan keluar yang tepat dan terbaik untuk bisa membenahi kondisi
puji-pujian kita yang lebih baik ke depannya.
Mudah-mudahan saja, seri tulisan ini bisa menjadi
inspirasi bagi sahabat-sahabat GMIT-ku untuk memulai ‘action’. (Bersambung)
0 comments:
Post a Comment