“Saya bingung, musik pengiring yang harus mengikuti puji-pujian yang dilakukan jemaat atau
puji-pujian yang dilakukan jemaat
yang harus mengikuti musik pengiring?”
Demikian
pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh seorang pendeta saat bincang-bincang di
teras gereja seusai Kebaktian Utama Minggu. Sebuah pertanyaan yang mungkin saja
ada di dalam benak kita, ketika kita melihat kenyataan adanya ketidakkompakan
dan ketidakharmonisan antara musik
pengiring dan puji-pujian yang
dilakukan oleh jemaat dalam setiap proses peribadatan/kebaktian.
Pertanyaan di
atas mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai pihak sesuai dengan sudut
pandang masing-masing.
Ada yang
mengatakan: “Sebagai pengiring, musiklah
yang harus mengikuti atau menyesuaikan dengan puji-pujian yang dilakukan oleh
jemaat!” Ada pula yang mengatakan sebaliknya: “Puji-pujian yang dilakukan oleh
jemaatlah yang harus disesuaikan dengan musik
pengiring!”
Dari
jawaban-jawaban yang ada, sebenarnya dapat ditarik satu benang merah bahwa
banyak orang yang sangat mendambakan adanya sebuah suasana kompak/harmonis pada
musik pengiring dan puji-pujian jemaat, yang mana sudah
sekian lama hampir tidak dijumpai dalam setiap proses peribadatan/kebaktian.
Suasana
kompak/harmonis sudah menjadi barang antik
yang tidak berharga untuk diburu. Kesemrawutan
musik pengiring dan puji-pujian jemaat sudah menjadi menu wajib baik dengan
maupun tanpa pemandu pujian. Semoga ini tidak dianggap sebagai hal yang biasa-biasa
saja yang tidak perlu dibenahi.
Secara
sederhana, disebut musik pengiring berarti musik yang mengiringi
puji-pujian. Namun pada saat iring-iringan
terjadi, pertanyaannya: “Siapa harus
mengikuti siapa? Atau siapa harus
menunggu siapa? Atau siapa harus
mengejar siapa?”
Pertanyaan
lanjutannya: “Apakah musik pengiring yang sudah benar harus
mengikuti atau menyesuaikan dengan puji-pujian
jemaat yang dilakukan secara tidak benar tanpa memperhatikan tanda
baca/simbol notasi yang benar sebagai aturan/prinsip dasar bernyanyi? Atau sebaliknya
puji-pujian jemaat yang sudah benar
sesuai petunjuk notasi harus mengikuti musik
pengiring yang asal-asalan? Atau apa yang terjadi bila kedua-duanya
sama-sama tidak menguasai aturan/prinsip dasar bermusik dan bernyanyi?”
Sebenarnya
persoalannya akan menjadi sederhana, jika baik pemain musik maupun
pribadi-pribadi yang berpartisipasi dalam puji-pujian mau berpegang pada
aturan/prinsip dasar bermusik dan bernyanyi atau paling tidak menguasai
puji-pujian dengan baik, maka pertanyaan-pertanyaan di atas tidak perlu ada. Sebagaimana
yang terjadi pada musik dan lagu modern (pop, rock, dll), pertanyaan-pertanyaan
seperti itu hampir tidak pernah muncul sedikitpun, karena memang orang-orang
yang bermusik/bernyanyi setidaknya belajar
dan terus berlatih agar, paling tidak,
dapat menguasai dengan baik musik dan/atau lagu tersebut. Kalaupun ada, itu
hanya berlaku bagi oknum-oknum yang
tidak begitu bersimpati dengan atau menutup diri terhadap seni musik dan suara.
Berbicara
tentang musik pengiring, merujuk pada
petunjuk notasi di dalam buku himpunan lagu Kidung Jemaat Edisi Harmoni (not
balok) dan Kidung Jemaat Edisi Akord (not angka), seorang pemain musik
memainkan melodi/ragam lagu sekaligus mengiringi (melakukan ritem) dengan
harmoni nada dan akord yang tepat dan teratur. Jika musik pengiring memiliki peran demikian, maka peran jemaat atau siapapun yang terlibat di
dalam melakukan puji-pujian adalah menyanyikan melodi/ragam lagu (baca: perkataan).
Kekompakan/keharmonisan
dapat terjadi jika musik pengiring dan
puji-pujian harus
dimainkan/dinyanyikan sesuai dengan tanda baca/simbol notasi yang tertera
dengan baik dan benar. Di sini dibutuhkan penguasaan yang baik dari para pelaku
musik pengiring dan pelaku puji-pujian. Jika terjadi kepincangan
pada salah satunya, maka yang namanya kompak/harmonis hanya tinggal mimpi.
Seharusnya
saat musik pengiring dimainkan atau
memberi aba-aba untuk bernyanyi, jemaat serta-merta bernyanyi dan bernyanyi. Sesuai
dengan perannya, keduanya menjalankan tugas masing-masing: bermain musik dan bernyanyi
sesuai dengan petunjuk-petunjuk notasi yang tepat dan teratur.
Dengan
demikian, tidak perlu ada lagi pertanyaan-pertanyaan: “Siapa harus mengikuti atau menunggu atau mengejar siapa?”, karena
yang dilakukan oleh pemain musik dengan sendirinya akan mendukung jemaat dalam
melakukan puji-pujian, dan sebaliknya jemaatpun akan melakukan hal yang sama
yang selaras dengan musik pengiring.
Ibarat sebuah arus lalu lintas, kita harus paham dan
mentaati semua rambu-rambu notasi
yang tertera untuk menjaga ketertiban
dan keselamatan berlalu-lintas di dalam proses puji-pujian. Mengatur kecepatan tempo, menjaga/mematuhi jarak/harga nada agar tidak bertabrakan satu dengan yang lainnya! Tidak
sembarang parkir/berhenti pada tempat/bagian
yang tidak seharusnya!
Jangan melambung! Dilarang saling mendahului satu dengan yang lainnya agar bisa tiba di tempat tujuan secara bersama-sama dengan
selamat! Mengingat lalu lintas puji-pujian yang begitu
padat, maka penugasan pemandu pujian sangat
diperlukan sebagai pengatur arus lalu
lintas puji-pujian.
Memang untuk
menciptakan kekompakan/keharmonisan
ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena butuh proses panjang yang
tentu akan sangat melelahkan. Namun bagi kita yang optimis, tidak ada kata
‘terlambat’ untuk memulainya karena kekompakan/keharmonisan
sedang menunggu di depan kita. Keterlibatan semua pihak, khususnya institusi gereja, sangat dibutuhkan
dalam proses pembinaan jemaat untuk mencapai tujuan dimaksud.
Perlu ditambahkan
pula disini, bahwa sebagai orang Kristen,
kita seharusnya memiliki
pengetahuan/kemampuan yang lebih (baca:
di atas rata-rata) dari orang lain
dalam hal bernyanyi/melakukan puji-pujian yang baik dan benar. Bukankah melakukan
puji-pujian atau bernyanyi adalah hal mutlak dan wajib dalam setiap peribadatan/kebaktian
kita?
0 comments:
Post a Comment