English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Thursday, August 21, 2014

GEREJA MENELAN SIMALAKAMA (7)


GEREJA DAN PEMAIN MUSIK GEREJA

Oleh: Pietro T. M. Netti
(Pelaku Musik Gerejawi-
Warga Jemaat Gunung Sinai Naikolan)

Ada beberapa pertimbangan mengapa gereja perlu melakukan proses (seleksi/perekrutan dan pelatihan/pembinaan) di atas bagi pemain musik gerejanya:

Menjaga Fungsi dan Peran Musik Pengiring

Fungsi/peran musik pengiring adalah mengiringi puji-pujian liturgi/jemaat yang hampir mendominasi setiap tahapan proses kebaktian. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa musik pengiring memiliki fungsi/peran yang sangat besar dalam setiap kebaktian.

Musik pengiring berpeluang ganda dalam menciptakan suasana berbakti yang berlangsung khusuk, hikmat, kudus, penuh semangat, kesungguhan, sukacita dan damai sejahtera, dan sebaliknya berpeluang menciptakan suasana gaduh/ricuh/kacau dalam sebuah kebaktian (tidak khusuk, tidak hikmat, dan seterusnya)  yang cenderung menggiring dan menjerumuskan peserta kebaktian ke dalam pencobaan dan dosa.

Menyelamatkan Pelayanan Gereja

Berdasarkan pengalaman, kebanyakan pemain musik gereja yang ditugaskan oleh gereja-gereja di dalam lingkup GMIT adalah sukarelawan-sukarelawati sejati yang bersimpati untuk membantu, melayani dan mengabdikan dirinya untuk tujuan pelayanan.

Beruntung, jika sang sukarelawan/wati (baca: pemain musik) memiliki pengetahuan dan kompetensi bermusik yang memadai, tapi jika tidak? Gereja akan dihadapkan pada sebuah kondisi simalakama yang sangat beresiko tinggi pada tugas dan pelayanannya.

Mempertahankan musik pengiring yang amburadul (baca: aksi pemain musik yang tidak berkompeten) sama artinya dengan mengorbankan warga gereja/jemaat dalam hal mendapatkan sukacita dan damai sejahtera sorgawi.

Sebaliknya untuk mencegah warga gereja/jemaat jatuh ke dalam pencobaan, maka gereja harus meniadakan musik pengiring dan/atau aksi pemain musik yang cenderung mengganggu kekhusukan, kekudusan, dan kesungguhan beribadah. Sebuah kondisi dilematis yang mau tidak mau harus ditelan oleh gereja.

Mencegah Jatuh Korban di dalam Pelayanan

Gereja tidak berani memberi saran, kritik atau bahkan sanksi kepada pemain musik gerejanya berkenaan fungsi/peran dan tugasnya yang kurang maksimal, karena gereja tidak memiliki andil apa-apa dalam hal memberi bekal pengetahuan dan kompetensi kepada sang sukarelawan/wati tersebut. Gereja terpaksa hanya menatap pasrah (plus tanpa daya, pen) korban-korban yang terus berjatuhan di dalam tugas dan pelayanannya.

Jemaat, sebagai korban utama, menjadi tidak nyaman dan bahkan merasa terganggu dengan kehadiran musik pengiring dan/atau aksi pemain musik yang tidak memperhatikan unsur-unsur dasar seni musik, etika dan estetika bermusik yang bertanggung jawab. 

Meningkatkan Totalitas Pelayanan

Sebagai sukarelawan/wati, sang pemain musik gereja sudah tentu tidak bisa memberikan totalitas pelayanan secara maksimal, sehingga tentu pula gereja tidak bisa banyak berharap dan/atau menuntut lebih dari sang sukarelawan/wati tersebut. Gereja hanya patut bersyukur dan berterima kasih dalam suka maupun duka, karena sudah ada yang rela meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu pelayanan gereja.

Dalam suka apabila fungsi dan peran musik pengiring berjalan semestinya, dan dalam duka apabila fungsi dan peran musik pengiring terus memakan korban dan hanya menjadi gerakan pengacau ketertiban beribadat.

Bersambung ke: CATATAN AKHIR
Tulisan sebelumnya: PELATIHAN DAN PEMBINAAN

0 comments:

Post a Comment