GEREJA DAN PEMAIN
MUSIK GEREJA
Oleh: Pietro T. M. Netti
(Pelaku Musik Gerejawi-
Warga Jemaat Gunung Sinai Naikolan)
Ada beberapa
pertimbangan mengapa gereja perlu melakukan proses (seleksi/perekrutan dan
pelatihan/pembinaan) di atas bagi pemain musik gerejanya:
Menjaga Fungsi dan Peran Musik
Pengiring
Fungsi/peran
musik pengiring adalah mengiringi puji-pujian liturgi/jemaat yang hampir
mendominasi setiap tahapan proses kebaktian. Dengan demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa musik pengiring memiliki fungsi/peran yang sangat besar dalam
setiap kebaktian.
Musik
pengiring berpeluang ganda dalam menciptakan suasana berbakti yang berlangsung khusuk,
hikmat, kudus, penuh semangat, kesungguhan, sukacita dan damai sejahtera, dan
sebaliknya berpeluang menciptakan suasana gaduh/ricuh/kacau dalam sebuah
kebaktian (tidak khusuk, tidak hikmat, dan seterusnya) yang cenderung menggiring dan menjerumuskan
peserta kebaktian ke dalam pencobaan
dan dosa.
Menyelamatkan Pelayanan Gereja
Berdasarkan
pengalaman, kebanyakan pemain musik gereja yang ditugaskan oleh gereja-gereja
di dalam lingkup GMIT adalah sukarelawan-sukarelawati
sejati yang bersimpati untuk membantu, melayani dan mengabdikan dirinya untuk
tujuan pelayanan.
Beruntung,
jika sang sukarelawan/wati (baca: pemain musik) memiliki pengetahuan dan
kompetensi bermusik yang memadai, tapi jika tidak? Gereja akan dihadapkan pada
sebuah kondisi simalakama yang sangat
beresiko tinggi pada tugas dan pelayanannya.
Mempertahankan
musik pengiring yang amburadul (baca:
aksi pemain musik yang tidak berkompeten) sama artinya dengan mengorbankan warga
gereja/jemaat dalam hal mendapatkan sukacita dan damai sejahtera sorgawi.
Sebaliknya untuk
mencegah warga gereja/jemaat jatuh ke dalam pencobaan, maka gereja harus
meniadakan musik pengiring dan/atau aksi pemain musik yang cenderung mengganggu
kekhusukan, kekudusan, dan kesungguhan beribadah. Sebuah kondisi dilematis yang
mau tidak mau harus ditelan oleh
gereja.
Mencegah Jatuh Korban di dalam
Pelayanan
Gereja tidak
berani memberi saran, kritik atau bahkan sanksi kepada pemain musik gerejanya
berkenaan fungsi/peran dan tugasnya yang kurang maksimal, karena gereja tidak
memiliki andil apa-apa dalam hal memberi bekal pengetahuan dan kompetensi
kepada sang sukarelawan/wati
tersebut. Gereja terpaksa hanya menatap pasrah (plus tanpa daya, pen) korban-korban yang terus berjatuhan di dalam tugas dan
pelayanannya.
Jemaat,
sebagai korban utama, menjadi tidak
nyaman dan bahkan merasa terganggu dengan kehadiran musik pengiring dan/atau
aksi pemain musik yang tidak memperhatikan unsur-unsur dasar seni musik, etika
dan estetika bermusik yang bertanggung jawab.
Meningkatkan Totalitas Pelayanan
Sebagai sukarelawan/wati, sang pemain musik
gereja sudah tentu tidak bisa memberikan totalitas pelayanan secara maksimal,
sehingga tentu pula gereja tidak bisa banyak berharap dan/atau menuntut lebih
dari sang sukarelawan/wati tersebut. Gereja
hanya patut bersyukur dan berterima kasih dalam suka maupun duka, karena
sudah ada yang rela meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu pelayanan gereja.
Dalam suka apabila fungsi dan peran musik pengiring
berjalan semestinya, dan dalam duka
apabila fungsi dan peran musik pengiring terus memakan korban dan hanya menjadi gerakan pengacau ketertiban beribadat.
Bersambung ke:
CATATAN AKHIR
Tulisan
sebelumnya: PELATIHAN DAN PEMBINAAN
0 comments:
Post a Comment