Oleh:
Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah
Rumah MUGER Kupang
Ilustrasi: gamesmakerchoir.org.uk |
“’Feeling’ musik saya kok salah terus,
ya?”
Itulah
ungkapan bingung dan heran yang selalu muncul dalam benak saya setiap kali
mengikuti kebaktian Minggu maupun kebaktian-kebaktian lain di gereja pada belasan/puluhan
tahun yang lalu, atau tepatnya beberapa abad
silam (pung tua lai…hehe…).
Saya,
pada abad itu (hehe…), termasuk remaja/pemuda yang memutuskan untuk tidak pernah
mau terlibat di dalam kegiatan-kegiatan gerejawi, termasuk tidak tertarik untuk
mengikuti kebaktian/ibadat apapun itu di gereja setelah mengalami hal-hal yang boleh
dikatakan traumatis tersebut (wuiihh…om trauma om…!). Alasannya itu
tadi, ‘feeling’ musik saya hampir tidak
pernah benar alias salah terus di
saat menyanyikan lagu-lagu yang dipakai dalam kebaktian (ada juga alasan-alasan lain tapi rahasia...! Atau kerennya: “off the record”- lahh!).
Bagaimana
saya tidak merasa minder dengan ‘feeling’
musik saya yang selalu salah pada saat bernyanyi jika dibandingkan dengan sebagian
besar jemaat yang sangat-amat-terlalu
kompak dengan pemain musiknya (ana minder…lahh)?!
Mungkin hal yang saya rasakan itu oleh kebanyakan orang dianggap sebagai hal
sepele. Memang benar, saya juga merasakan hal yang sama, tetapi buat saya, itu
adalah hal sepele yang tidak sepele (bu
mulai putar kata su….! Hehe...).
Pada
abad-abad tersebut (berarti sekarang su tua ganggok oo…hehe…),
saya yakin-seyakin-yakinnya kalau
saya tidak sendiri (memang, karna om
Victor ju bilang: “Ku tak dapat jalan sendiri!”). Pasti ada juga anggota-anggota
jemaat lain yang mengalami/merasakan hal yang sama seperti yang saya alami/rasakan
saat itu. Ya, merasa menderita kerusakan pada ‘feeling’ musik tentunya. Walaupun demikian, saya pun tetap yakin, kalaupun
(‘pun’ pung banyak lai…) dipasang ‘head to head’ antara saya bersama
anggota-anggota jemaat yang lain itu dengan sebagian besar jemaat yang kompak
dengan pemain musiknya, maka tetap akan sangat jelas terlihat bahwa kita yang ‘merasa rusak’ memang harus mengaku kalah
(buang handuk…), dan itu berarti kita
pun (‘pun’ lai…) harus terima salah (sonde apa-apa…, katong terima sa…!), karena
kita kalah jumlah (hehe…tenang sa, bro ‘n
sis! Ini pemilu ko apa ni? Katong mengalah sa untuk menang!).
Dari
kejadian tragis (tadi ‘traumatis’…, sekarang su ‘tragis’ lai…) tersebut, saya
menarik sebuah kesimpulan yang entah itu merupakan kesimpulan akhir atau masih
sementara(?) bahwa lagu-lagu dan musik gereja masuk dalam kategori sulit.
Ya,
SULIT karena ‘feeling’ musik saya selalu
salah pada bagian-bagian akhir frase/kalimat lagu dan pada saat akan memulai
atau melanjutkan frase/kalimat lagu berikutnya. Ya, SULIT karena ketukan dan/atau
birama dari lagu-lagu yang dimainkan/dinyanyikan selalu tak terduga datang dan perginya (su kek jelangkung
sa, datang tak diundang, pulang tak
diantar…hehe…). Ya, SULIT karena pemain musik gereja pun sering menerapkan harmoni-harmoni
akord yang sangat-amat-terlalu unik dan
rumit (bahasa lembutnya begitu…),
sehingga lagu-lagu yang dimainkan cenderung menjadi tidak mudah dicerna oleh
telinga-telinga awam (kira mau bilang
telinga-telinga oek…hehe…).
Sebenarnya
yang dikatakan sulit dan/atau tidak mudah di atas memang itulah
kenyataan yang benar-benar saya alami dan rasakan. Saya dan mungkin juga sebagian
kecil anggota jemaat yang tergolong dalam kelompok kaum bertelinga awam (bukan kaum sumbu pendek…), yang sungguh-sungguh
awam dengan segala ketakterdugaan-ketakterdugaan
baik datang dan perginya maupun dengan segala keunikan
dan kerumitan harmoni yang tidak
sengaja (sonde sangaja ko…sonde sangaja…?
Hehe…), sudah tentu akan sulit memahami segala nyanyian maupun permainan musik
yang ada (mungkin talalu butakanop ko…?).
Saya
dan mungkin saja sebagian kecil anggota jemaat yang merasa rusak ‘feeling’
musiknya, mungkin terlalu sering dininabobokan
oleh suguhan-suguhan lagu/musik cengeng
yang jarang menghadirkan kejutan-kejutan tak terduga. Maklum, namanya juga telinga-telinga
awam, kesukaannya dimanja dengan alunan-alunan dan belaian-belaian harmoni (su kek bang Toyib lai… Jablai…!) yang ringan-ringan sedap (bukan ngeri-ngeri sedap…hehe…) dan sekali
telan langsung tercerna dengan begitu mudahnya.
Ya,
begitulah para “awamers” (istilah baru ko…?)! Tidak butuh yang
namanya rumit-rumit, mereka hanya ingin sekali pikir untuk bisa memahami (sonde mau kapala sakit…apalai sampe pica
otak…hehe…), bila perlu, sekali mendayung dua tiga pulau terlampau. Itulah “awamers”! Kalau bisa dipermudah, kenapa
dipersulit (jang balek…!)? Kalau ada (bukan pantun oo…!) yang gampang kenapa cari-cari
yang susah?
(Sudah dulu ee….! Beta sandiri ju su
bingung ni…! Tadi rencana tulis laen, jadinya laen…hehe… Tapi mudah-mudahan semua
yang su baca sampe abis biar bingung asal terhibur ee…! Setuju ko…? Be kabur
dulu ee….! Caaaooo….!)
0 comments:
Post a Comment