English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Friday, February 10, 2017

‘Feeling’ Musik Saya Kok Salah Terus, Ya?


Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah Rumah MUGER Kupang
Ilustrasi: gamesmakerchoir.org.uk

’Feeling’ musik saya kok salah terus, ya?”

Itulah ungkapan bingung dan heran yang selalu muncul dalam benak saya setiap kali mengikuti kebaktian Minggu maupun kebaktian-kebaktian lain di gereja pada belasan/puluhan tahun yang lalu, atau tepatnya beberapa abad silam (pung tua lai…hehe…).


Saya, pada abad itu (hehe…), termasuk remaja/pemuda yang memutuskan untuk tidak pernah mau terlibat di dalam kegiatan-kegiatan gerejawi, termasuk tidak tertarik untuk mengikuti kebaktian/ibadat apapun itu di gereja setelah mengalami hal-hal yang boleh dikatakan traumatis tersebut (wuiihh…om trauma om…!). Alasannya itu tadi, ‘feeling’ musik saya hampir tidak pernah benar alias salah terus di saat menyanyikan lagu-lagu yang dipakai dalam kebaktian (ada juga alasan-alasan lain tapi rahasia...! Atau kerennya: “off the record”- lahh!).

Bagaimana saya tidak merasa minder dengan ‘feeling’ musik saya yang selalu salah pada saat bernyanyi jika dibandingkan dengan sebagian besar jemaat yang sangat-amat-terlalu kompak dengan pemain musiknya (ana minder…lahh)?! Mungkin hal yang saya rasakan itu oleh kebanyakan orang dianggap sebagai hal sepele. Memang benar, saya juga merasakan hal yang sama, tetapi buat saya, itu adalah hal sepele yang tidak sepele (bu mulai putar kata su….! Hehe...).

Pada abad-abad tersebut (berarti sekarang su tua ganggok oo…hehe…), saya yakin-seyakin-yakinnya kalau saya tidak sendiri (memang, karna om Victor ju bilang: “Ku tak dapat jalan sendiri!”). Pasti ada juga anggota-anggota jemaat lain yang mengalami/merasakan hal yang sama seperti yang saya alami/rasakan saat itu. Ya, merasa menderita kerusakan pada ‘feeling’ musik tentunya. Walaupun demikian, saya pun tetap yakin, kalaupun (‘pun’ pung banyak lai…) dipasang ‘head to head’ antara saya bersama anggota-anggota jemaat yang lain itu dengan sebagian besar jemaat yang kompak dengan pemain musiknya, maka tetap akan sangat jelas terlihat bahwa kita yang ‘merasa rusak’ memang harus mengaku kalah (buang handuk…), dan itu berarti kita pun (‘pun’ lai…) harus terima salah (sonde apa-apa…, katong terima sa…!), karena kita kalah jumlah (hehe…tenang sa, bro ‘n sis! Ini pemilu ko apa ni? Katong mengalah sa untuk menang!).

Dari kejadian tragis (tadi ‘traumatis’…, sekarang su ‘tragis’ lai…) tersebut, saya menarik sebuah kesimpulan yang entah itu merupakan kesimpulan akhir atau masih sementara(?) bahwa lagu-lagu dan musik gereja masuk dalam kategori sulit.

Ya, SULIT karena ‘feeling’ musik saya selalu salah pada bagian-bagian akhir frase/kalimat lagu dan pada saat akan memulai atau melanjutkan frase/kalimat lagu berikutnya. Ya, SULIT karena ketukan dan/atau birama dari lagu-lagu yang dimainkan/dinyanyikan selalu tak terduga datang dan perginya (su kek jelangkung sa, datang tak diundang, pulang tak diantar…hehe…). Ya, SULIT karena pemain musik gereja pun sering menerapkan harmoni-harmoni akord yang sangat-amat-terlalu unik dan rumit (bahasa lembutnya begitu…), sehingga lagu-lagu yang dimainkan cenderung menjadi tidak mudah dicerna oleh telinga-telinga awam (kira mau bilang telinga-telinga oek…hehe…).

Sebenarnya yang dikatakan sulit dan/atau tidak mudah di atas memang itulah kenyataan yang benar-benar saya alami dan rasakan. Saya dan mungkin juga sebagian kecil anggota jemaat yang tergolong dalam kelompok kaum bertelinga awam (bukan kaum sumbu pendek…), yang sungguh-sungguh awam dengan segala ketakterdugaan-ketakterdugaan baik datang dan perginya maupun dengan segala keunikan dan kerumitan harmoni yang tidak sengaja (sonde sangaja ko…sonde sangaja…? Hehe…), sudah tentu akan sulit memahami segala nyanyian maupun permainan musik yang ada (mungkin talalu butakanop ko…?).

Saya dan mungkin saja sebagian kecil anggota jemaat yang merasa rusakfeeling’ musiknya, mungkin terlalu sering dininabobokan oleh suguhan-suguhan lagu/musik cengeng yang jarang menghadirkan kejutan-kejutan tak terduga. Maklum, namanya juga telinga-telinga awam, kesukaannya dimanja dengan alunan-alunan dan belaian-belaian harmoni (su kek bang Toyib lai… Jablai…!) yang ringan-ringan sedap (bukan ngeri-ngeri sedap…hehe…) dan sekali telan langsung tercerna dengan begitu mudahnya.

Ya, begitulah para “awamers” (istilah baru ko…?)! Tidak butuh yang namanya rumit-rumit, mereka hanya ingin sekali pikir untuk bisa memahami (sonde mau kapala sakit…apalai sampe pica otak…hehe…), bila perlu, sekali mendayung dua tiga pulau terlampau. Itulah “awamers”! Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit (jang balek…!)? Kalau ada (bukan pantun oo…!) yang gampang kenapa cari-cari yang susah?

(Sudah dulu ee….! Beta sandiri ju su bingung ni…! Tadi rencana tulis laen, jadinya laen…hehe… Tapi mudah-mudahan semua yang su baca sampe abis biar bingung asal terhibur ee…! Setuju ko…? Be kabur dulu ee….! Caaaooo….!)   

0 comments:

Post a Comment